Ada Apa dengan Jokowi ?

Amran Nasution
Gubernur Jakarta jokowi Mulai Repot dengan berbagai serangan. Mulai isu bus China sampai monorail.

Banyak yang meramalkan PDIP akan keluar sebagai pemenang Pemilu Legislatif (Pileg) yang akan berlangsung April mendatang. Meningkatnya keterpilihan (elektabilitas) partai pimpinan Megawati itu, terutama disebabkan penampilan Gubernur Jakarta Joko Widodo alias Jokowi, anggota partai itu. Kemudian di Surabaya ada Walikota Tri Rismaharini yang sukses dengan sejumlah penghargaan internasional.

Sama seperti Jokowi, Rismaharini pun sesungguhnya bukan kader asli PDIP. Keduanya bergabung ke partai itu ketika akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Jokowi sebelumnya adalah pedagang mebel di Solo, sedangkan Rismaharini adalah pegawai Pemerintah Derah (Pemda).

Repotnya belakangan nama Gubernur Jokowi mulai disorot, terutama karena kasus impor bus dari China yang konyol dan berbau korupsi dan kini telah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Para pimpinan PDIP pun tampak amat khawatir. Apalagi belakangan Walikota Tri Rismaharini mulai kecewa ke partai itu karena kasus pemilihan Wakil Walikota Surabaya yang bermasalah dan berasal dari PDIP. Dalam kasus ini Walikota Rismaharini  kecewa pada sikap DPP PDIP.

Bila kelak Gubernur Jokowi sampai dipanggil  dan diperiksa KPK karena pembelian bus China itu tentu citra PDIP selaku partai akan terganggu. Sama terganggunya ketika belum lama ini Walikota Tri Rismaharini ‘’mengeluh’’ ke mana-mana karena kasus pemilihan Wakil Walikota Surabaya.

Dia, misalnya, sempat berbicara dengan Presiden SBY melalui telepon. Dia juga menemui Wakil Ketua DPR-RI Priyo Budisantoso untuk membicarakan masalah serupa. Kedua peristiwa ini tentu secara politis sangat memojokkan PDIP. Soalnya, kedua pejabat penting yang menjadi sasaran ‘’curhat’’ Walikota Tri Rismaharini itu bukan berasal dari PDIP. Presiden SBY adalah Ketua Umum Partai Demokrat yang berseberangan dengan PDIP. Begitu juga Priyo. Dia adalah pejabat DPR-RI yang berasal dari Partai Golkar. 
Maka Kamis, 20 Februari 2014, tampillah Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo ke hadapan wartawan.  Menurut Tjahjo mereka sudah mengetahui ada kegiatan intelijen yang menyasar sejumlah tokoh PDIP. Tokoh yang jadi sasaran aksi intelijen itu antara lain Ketua Umum Megawati dan Gubernur Jakarta Joko Widodo.

Megawati, kata Tjahjo, sering dikuntit intelijen, sedang Gubernur Jokowi menjadi korban penyadapan. Menurut Tjahjo mereka telah tahu siapa pelaku penyadapan terhadap Jokowi, tapi mereka belum mau mengungkapkannya sekarang. ‘’Kami tahu tapi itu akan kami simpan sendiri,’’ ujat Tjahjo.

Sebelumnya Tjahjo mengungkapkan bahwa pihaknya menemukan 3 alat penyadap di rumah dinas Gubernur Jokowi, kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Alat itu ditemukan di ruang tamu, ruang makan, dan kamar tidur Gubernur Jokowi. Pada mulanya Tjahjo mengatakan peralatan sadap itu ditemukan setelah PDI-P melakukan penggeledahan di rumah dinas Jokowi.

Tapi setelah dikonfirmasi wartawan, Tjahjo mengatakan yang menemukan peralatan sadap itu adalah para pengawal Jokowi dan kemudian disampaikan ke DPP PDI-P. Selain 3 alat sadap itu, Tjahjo mengungkapkan kepada wartawan bahwa operasi intelijen tersebut sempat mengirim tim ke Solo guna mencari kelemahan Jokowi selama menjabat Walikota Solo. ‘’Ini namanya kurang ajar. Kami tahu elemen mana pelakunya, apa kepentingannya. Kami juga tahu saat ada penyusup dalam rombongan Bu Mega,’’ katanya.

Anehnya, dengan berbagai kasus yang cukup dramatis ini, tak satu pun kasus itu yang mereka laporkan ke aparat kepolisian. Rupanya komitmen PDIP untuk penegakan hukum rendah, sehingga mereka tak merasa perlu lapor ke kantor polisi selaku warganegara.
Sebelumnya, Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan pihaknya mengendus ada serangan politik yang ditujukan untuk menjatuhkan kredibilitas Jokowi. Atas dasar itu, seluruh mesin partai mereka mulai membuat benteng untuk melindungi Jokowi dari semua serangan lawan politik. Yang jadi masalah, mampukah PDIP melindungi Jokowi dari berbagai isu yang menerpanya sekarang?

Bisa saja para lawan politik PDIP melakukan aksi untuk mengungkap kelemahan  Jokowi sebagai maskot partai. Tapi sebetulnya hal itu sah saja dalam sistem Indonesia yang sekarang terbuka. Berbagai kelemahan Jokowi di Solo – seperti kasus dana pendidikan serta soal penjualan tanah Pemda – sudah terbuka di media massa dan menjadi konsumsi publik. Belum lagi isu pembelian bus China belakangan ini. Apakah PDIP mau melindungi Jokowi dalam kasus itu?

Sekarang berbagai kelemahan Jokowi sebagai Gubernur Jakarta mulai diungkap ke permukaan, terutama melalui media massa. Tampaknya masa bulan madu Jokowi dengan media telah berakhir. Sekarang masanya media menjadi patner Jokowi yang sesungguhnya untuk memberikan kontrol sosial, sehingga Gubernur Jakarta itu tak bisa lagi seenaknya melangkah sembari terus-menerus mendapat tepuk tangan dari para wartawan.

Sekarang, kalau Jokowi terpeleset, wartawan harus memberitakannya. Ketika bus-bus yang diimpornya dari China pada rusak ketika baru saja dioperasikan, wartawan pasti tahu ada ‘’permainan’’ di balik pembelian mobil-mobil ringsek itu. Dan Jokowi harus bertanggungjawab, wartawan harus memberitakannya.

Selama ini Jokowi dikenal sebagai seorang yang memiliki karakter teliti, detail, dan cermat.  Bermodalkan karakter itulah dia melakukan blusukan ke masyarakat. Ia memeriksa apakah pekerjaan aparatnya sudah tepat, sekaligus dia menyempatkan diri menampung keluhan-keluhan masyarakat untuk segera ditindak-lanjuti.

Tapi kenyataannya berbagai persoalan yang kini membelit Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pimpinan Jokowi, menimbulkan pertanyaan besar. Misalnya, bagaimana mungkin bus yang baru dibeli sudah ringsek dan berkarat? Mengapa proyek monorail yang belum beres perizinannya sudah bisa dimulai pengerjaannya? Mengapa Gubernur Jokowi yang semula menolak pembangunan 6 ruas jalan tol dalam kota, kini menyetujuinya?  Mengapa pedagang Blok G Tanah Abang kini bisa turun ke jalan? ‘’Sebenarnya ada apa dengan Jokowi?’’ ujar pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo kepada Kompas.com, Kamis (20/2/2014). Ya, itulah pertanyaannya: Ada apa dengan Jokowi?

Agus, misalnya, menyayangkan bagaimana bus baru Transjakarta dan bus kota terintegrasi bus Transjakarta (BKTB) yang juga baru bisa sudah karatan dan rusak-rusak. Meski pengadaan bus itu bukan urusan Jokowi, tapi tetap menjadi tanggungjawabnya. Seharusnya, Jokowi atau Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama mengecek dokumen pengadaan bus secara detail, bukan sepenuhnya menyerahkannya kepada Dinas Perhubungan Jakarta. ‘’Kan penambahan transportasi massal itu program andalan Pak Jokowi. Kalau mereka mau aman sih seharusnya dicek sesuai prosedur atau tidak. Bagi tugaslah, Jokowi ke lapangan, Basuki yang memeriksa dokumen-dokumen di kantornya,’’ kata Agus.

Agus tampaknya masih mempercayai Jokowi. Padahal tak mungkin pembelian bus sebanyak itu bisa terjadi tanpa sepengetahuan dan persetujuan Gubernur. Yang hendak dikatakan, jangan buru-buru menjamin bahwa Jokowi bersih dari ‘’permainan’’ pembelian bus ringsek dari China itu. Anak kecil pun tahu tak mungkin bus bobrok seperti itu bisa diberikan perusahaan yang mengimpornya dari China tanpa ada permainan pat gilipat berbuntut duit. Semua itu kelak akan terbongkar kalau KPK serius mengusut kasus itu. Di situlah kelak akan diketahui seberapa jauh keterlibatan Jokowi dalam ‘’permainan’’ bus China.

Agus Pambagyo yang sebelumnya memang pendukung Jokowi tampaknya masih percaya bahwa Jokowi tak terlibat dalam ‘’permainan’’ pembelian bus China itu. Tapi Jokowi telah gagal mengawasi anak buahnya yang dalam pandangan pengamat ini dari dulunya memang ‘’bermasalah’’.

Praktek mafia, menurut Agus, masih terjadi dalam pengadaan barang di sana. Spesifikasinya tak berkualitas, yang penting harganya murah, pemenang tender telah diatur. Karena itu, menurut Agus, tanpa pengawasan yang cermat, kualitas barang pasti jelek. Itulah tampaknya yang terjadi dalam kasus pembelian bus baru dari China itu. Dan Jokowi jelas harus bertanggung jawab.

Agus pun mempermasalahkan Jokowi dalam masalah kelanjutan pembangunan 6 ruas jalan tol dalam kota. Mengapa bisa, Jokowi-Ahok yang ketika berkampanye sebagai calon gubernur pada 2012, dengan tegas menolak keberadaan proyek yang hanya akan memperbanyak penggunaan mobil pribadi di Jakarta, tapi kini setelah jadi gubernur menerima proyek itu. Jelas sikap Jokowi itu tak sesuai dengan pengurangan penggunaan kenderaan pribadi dan memperbanyak transportasi massal di DKI.

‘’Waktu saya jadi panelis debat calon gubernur, Jokowi-Ahok dengan tegas bilang tak setuju. Sekarang mereka tiba-tiba setuju. Saya curiga mereka ‘’didekati’’ pihak-pihak pengusul proyek 6 ruas jalan tol itu dan mereka berhasil mempengaruhi Jokowi,’’ kata Agus sembari mengingatkan bahwa dia masih memiliki rekaman video yang menunjukkan Jokowi-Ahok menolak 6 ruas jalan tol itu.

Padahal menurut Agus para ahli transportasi sudah sepakat bahwa pembangunan jalan hanya akan memicu pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi dan tak akan menyelesaikan masalah kemacetan. ‘’Seharusnya Pemda DKI fokus ke pengadaan transportasi massal,’’ katanya.

Kekecewaan yang sama dirasakan Agus Pambagyo ketika menyaksikan Jokowi melakukan  groundbreaking (peresmian dimulainya) pembangunan monorel pada Oktober 2013. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa monorel bukanlah alat transportasi publik yang baik. Rangkaian kereta api mini itu lebih banyak berguna untuk angkutan para turis dari satu mall ke mall yang lain atau dari hotel menuju mall. Kapasitas angkutnya pun kecil. Jadi kalau dikatakan monorel untuk memecahkan masalah kemacetan di Jakarta, tentu itu omong kosong. ‘’Sudah dibilangin dari awal, jangan diterusin, eh dia terusin juga. Pertama monorel itu kereta wisata atau kereta dari mall ke mall lain karena rutenya cuma di dalam kota.

‘’Sudah banyak monorel di dunia ini yang rugi akhirnya tutup,’’ kata Agus. Selain itu, menurut Agus, PT Jakarta Monorail yang akan menggarap monorel Jakarta punya penampilan yang buruk. Sudah lama beredar kabar bahwa perusahaan itu tak punya modal sehingga mereka berharap Pemda DKI akan membiayai proyeknya.

Tak hanya itu. Agus menyayangkan mengapa Jokowi telah melakukan groundbreaking padahal perjanjian kerja sama (PKS) antara Pemprov DKI dan PT Jakarta Monorail belum ditandatangani. Dengan demikian secara hukum belum jelas skema keuangannya ketika bisnis ini nantinya berjalan. Sangat jelas keteledoran Jokowi itu tentu ada ‘’apa-apanya’’, misalnya, karena Jokowi dan pemilik proyek ini sudah memiliki ‘’saling pengertian’’  yang mendalam.

Kalau itu yang terjadi berarti korbannya kelak adalah Pemda DKI. Kabarnya, semua ini bisa terjadi karena pemilik proyek ini konglomerat Edward Suryajaya (bekas pemilik Astra) adalah teman dekat Jokowi. Selain Edward, konglomerat lain yang merupakan teman dekat Jokowi adalah James Riady, pewaris group LIPPO.

Menurut Agus Pambagyo, Jokowi juga salah dalam penanganan pedagang kaki lima di Blok G Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pada awal penataan pedagang di sana Agus sendiri turut memberi saran agar pedagang blok itu ditata agar memudahkan pembeli sampai ke lantai tiga dan empat Blok G. Waktu itu dikabarkan Pemda DKI akan membuat lift di sana sehingga pembeli gampang mencapai lantai tiga atau empat Blok G.

Soalnya, pembeli tak akan rela naik sampai lantai tiga atau empat dengan mendaki tangga hanya untuk membeli barang-barang yang mudah mereka temukan di tepi jalan. Kecuali akses ke sana dipermudah, misalnya dengan pembangunan lift. ‘’Kalau seperti sekarang tak bakal berhasil. PKL itu omzetnya di pinggir jalan Rp 5 juta. Sementara di Blok G mereka hanya menjual dagangannya satu sampai dua potong. Mending mereka memilih jualan di jalan,’’ kata Agus.

Sekarang tampaknya Jokowi mulai kedodoran. Itu menyebabkan pelan-pelan Jokowi tak lagi bisa diharapkan PDIP untuk menjadi maskot dalam Pemilu 9 April 2014 guna mengerek naik perolehan suara partai itu. Maka kerisauan Sekjen Tjahjo Kumolo bisa dimengerti. Apalagi Walikota Tri Rismaharini yang populer tapi kecewa ke PDIP, menjadi masalah yang lain lagi.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama

LANGUAGE