Pengesahan UU Desa oleh DPR
RI berbuntut panjang. LKAAM Sumbar menilai, pengesahan UU Desa
melemahkan eksistensi nagari di Sumatera Barat. Saking kecewanya, LKAAM
bahkan meminta Sumbar berpisah dari NKRI.
MINANG - Lembaga Kerapatan
Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar kecewa kepada DPR RI yang
mengesahkan RUU Desa, yang diusulkan pemerintah pusat, Rabu (18/12)
lalu.
Pemangku adat di Minangkabau
ini sudah menolak RUU tersebut sejak dirancang 7 tahun yang lalu. LKAAM
menolak karena UU Desa dinilai melemahkan eksistensi nagari di Sumbar
sebagai satu kesatuan adat, budaya dan sosial ekonomi.
Saking kecewanya, LKAAM bahkan
meminta Sumbar dipisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) karena merasa pemerintah pusat tidak menghargai eksistensi nagari
di Sumbar.
Pernyataan itu disampaikan Ketua
LKAAM Sumbar, Sayuti Datuak Rajo Pangulu saat jumpa pers dengan awak
media, di kantor LKAAM Sumbar di jalan Diponegoro, Kamis (19/12).
“Hari ini adalah hari yang
menyedihkan bagi kami setelah membaca berita di koran nasional bahwa UU
Desa disahkan oleh DPR. Telah 11 tahun Sumbar kembali ke nagari,
terhitung sejak tahun 2000 yang lalu. Masyarakat Sumbar menyambut baik
dan senang akan hal itu. Namun sekarang kesenangan itu diusik oleh
pemerintah pusat dengan memaksakan nagari di Sumatera Barat menjadi
desa,” kata Sayuti mengungkapkan kekecewaannya.
Menurutnya, konsep desa tidak
cocok diaplikasikan di Sumbar. Karena sejak berabad-abad lalu Sumbar
menggunakan konsep nagari, yang menghimpun masyarakat hukum adat
berdasarkan filosofi Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah
(ABS-SBK).
Ia meminta pemerintah pusat
untuk tidak memaksakan konsep desa yang dipakai oleh Jawa, Madura dan
Bali, terhadap Sumbar. Kalau tetap dipaksakan, pemerintah pusat berarti
telah mengangkangi UUD 1945 yang menghargai keragaman, dan telah
mengobrak-abrik keutuhan NKRI.
“Pemerintah pusat harap
menyadari, Sumbar bukan Jawa. Dengan diusulkannya UU Desa, berarti
pemerintah pusat menganggap bahwa NKRI hanya dan harus seragam dengan
daerah seperti Jawa, Bali dan Madura yang memakai konsep desa. Kalau
begitu, lepaskan saja Sumbar dari NKRI,” tegas Sayuti.
Ia menuturkan, wilayah istimewa
di Indonesia sejak dulu adalah Aceh, Yogyakarta, dan Sumbar. Pihaknya
menuntut nagari di Minangkabau diistimewakan seperti Aceh dan
Yogyakarta. Kalau tidak bisa, minimal diberikan pengakuan keistimewaan
dan tidak diutak-atik menjalankan nagari dengan hukum adat Minangkabau.
Sementara itu, Dewan
Pertimbangan LKAAM Sumbar, Hasan Basri mengatakan, pemerintah Belanda
ketika zaman penjajahan dulu mengakui konsep nagari di Sumbar. Belanda
membiarkan daerah di luar Jawa mengonsep sistem pemerintahan daerah
sesuai adat masing-masing.
Dengan disahkannya RUU Desa, ia menilai pemerintah pusat lebih menjajah Sumbar ketimbang Belanda.
Dengan disahkannya RUU Desa, ia menilai pemerintah pusat lebih menjajah Sumbar ketimbang Belanda.
“Di zaman Orde Baru, Menteri
Amir Mahmud mengakui keberadaan nagari di Minangkabau. Ketika itu,
konsep desa dan nagari berjalan bersama. Sekarang, pemerintah pusat
menyeragamkan semuanya. Apakah konsep nagari tidak demokratis?
Minangkabau sudah demokratis sebelum Eropa demokratis?.”
“Keputusan di Minangkabau
diputuskan melalui musyawarah, bukan diputuskan oleh pemimpin. Untuk
itu, kami mengharapkan hukum adat menjadi raja di negeri sendiri,” papar
pamong senior dan mantan Bupati Solok tahun 70-an tersebut.
Menurutnya, UU Desa tersebut
mengancam jabatan walinagari yang berjumlah 765 yang dipilih secara
demokratis oleh masyarakat tersebut. Walinagari adalah niniak mamak di
sebuah nagari. Jika walinagari digantikan oleh kepala desa, apa fungsi
niniak mamak di sebuah nagari yang merupakan wilayah hukum adat?
Dengan disahkannya UU Desa,
LKAAM Sumbar akan meminta yudisial review ke Mahkamah Konstitusi. LKAAM
juga akan meminta suaka kepada PBB yang melindungi demokrasi, HAM dan
kearifan lokal sebuah daerah.
“Kami meminta gubernur, walikota
dan bupati untuk satu suara menolak UU Desa. Kalau tidak, LKAAM akan
memboikot semua proyek di Sumbar yang menggunakan tanah ulayat,” imbuh
Sayuti.
Selain anggota pengurus LKAAM
dan Bundo Kanduang, jumpa pers tersebut juga dihadiri 3 pengurus Majelis
Adat Aceh (MAA). Zainudin, salah seorang pengurus MAA mengatakan,
pihaknya mendukung penolakan LKAAM Sumbar terhadap UU Desa.
“Sebagai masyarakat Aceh yang
tinggal di Sumbar, kami mendukung LKAAM menolak UU Desa. Di mana bumi
dipijak, di sana langit dijunjung,” tuturnya. Alasan penolakannya sama
dengan yang dituturkan Sayuti.
Sementara itu, Ketua MAA pusat, Badruzzaman dikutip HarianHaluan.com, menghormati keputusan LKAAM Sumbar yang menolak UU Desa.
Menurutnya, LKAAM Sumbar wajar
menolak karena sesuai UUD 1945 Amandemen pertama-keempat yang berbunyi,
dalam teritori negara Indonesia terdapat lebih kurang 250
zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di
Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan
sebagainya.
“Daerah-daerah tersebut
mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah
yang bersifat istimewa. Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah
istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai
daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut,”
ungkapnya.
Posting Komentar