Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla
menjadi pembicara dalam Health Safety Environment (HSE) International
bersama Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI).
Dalam tema "Safety Leadership, Disaster, and Crisis Management", JK
membagi ceritanya saat memimpin tanggap darurat hingga masa pemulihan
pascabencana Tsunami, Aceh.
Saat itu, JK membutuhkan
penanganan dan manajemen krisis yang luar biasa dan cepat untuk
menuntaskan masa darurat di Aceh. Bahkan, dia mengumumkan ke seluruh
Aceh masa tanggap darurat selama enam bulan.
"Saat itu hari libur, banyak
orang ke pantai melihat airnya turun, bermain di pantai, banyak ikan,
sehingga korban semakin banyak. Hal itu menimbulkan trauma karena banyak
orang Aceh melihat mayat. Bencana itu harus ditangani dengan cara yang
tidak biasa, extraordinary," ungkap JK, Selasa (26/3/2013).
Saking banyaknya bantuan asing,
kata dia, saat itu ada 17 rumah sakit darurat di Aceh. Negara, kata dia,
adalah pihak yang paling bertanggung jawab sehingga masa tanggap
darurat yang paling panjang adalah yang terjadi di Aceh.
"Setiap orang dikasih makan
minum pengobatan selama enam bulan. Siangnya Aceh tak bisa masak, saya
perintahkan kumpulkan semua truk tangki di Sumatera Utara. Pergi sampai
akhirnya ada 50 truk tangki. Setiap tiga hari saya cek ke Aceh karena
yang paling berpengaruh tentu psikis masyarakat Aceh. Bagaimana mereka
pulih traumanya," ungkapnya.
JK memutuskan bahwa Banda Aceh
dan Meulaboh harus bersih dari puing-puing. Sehingga dia memanggil KSAD
dan Menteri Pekerjaan Umum saat itu untuk membersihkan puing-puing.
"Saya
berdiri lihat Aceh. Banda Aceh dan Meulaboh harus bersih. Puing-puing
dibersihkan dalam waktu tiga bulan. Butuh 300 buldoser. Datangkan semua
yang dibutuhkan. Semua eskavator dari Medan dan Jawa dibawa. Ini manajemen darurat. Habis Rp600 miliar waktu itu," jelasnya.
JK menilai, tidak mungkin Aceh
dibangun dalam keadaan penuh puing. Sehingga, dia memutuskan Aceh harus
damai baru bisa masuk ke tahap rekonstruksi.
"Tanggap darurat, rehab, dan
rekonstruksi. Paling berat rekonstruksi, dana besar dan Aceh harus
damai. Karena dulu semua orang bekerja dikawal tentara di belakangnya
senjata M16. Saya berpikir harus bersamaan, rekonstruksi dan damai,"
paparnya.
"Saat itu saya bilang bahwa itu
urusan saya, lalu saya mulai operasi damai, dialog dengan teman-teman
GAM. Ultimatum para dubes. Sampailah penekenan MoU," paparnya.
Posting Komentar