Karena berbagai undang-undang negeri ini dan ketentuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sekalipun pun menjamin golput.
"Golput is oke, penganjur is oke juga, selama tidak ada tindak pidana dan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Golput dipidanakan bertentangan dengan konstitusi," ujar Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar di Jakarta, Selasa, (25/2).
Orang yang mengajak Golput dengan kekerasan atau dengan iming-iming uanglah yang seharunya menjadi definisi dari Pasal 292 dan 308 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012, bukan orang yang menyampaikan pendapat atas kondisi negara yang karut marut seperti sekarang ini dan profil caleg atau presiden.
Dalam pasal di atas dijelaskan, setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.
"Jadi jelas, di Pasal 308 UU Pemilu, yang dipidana bukan penganjur Golput, tapi yang memaksa Golput dengan kekerasan seperti yang di UU HAM dan Tipikor atas politik uang," tegas Haris.
Haris menilai, pendapat dan pernyataan petinggi Komisi Pemilihan Umum, Bawaslu, Polri, hingga BIN, bahwa Golput bisa dipenjarakan adalah interpretasi yang salah dan menyesatkan atas pasal-pasal di atas itu.
"Jadi menurut saya, ada miss interpretasi dari Bawaslu, Polri, dan BIN terhadap masalah ini, katanya"
Seharusnya, terang Haris, yang melakukan kekerasan atau memaksa seseorang untuk memilih kandidat tertentu dengan intimidasi fisik atau iming-iming uang itulah yang harus fokus ditangani para aparat penegak hukum dan penyelenggara Pemilu yang sampai saat ini masih banyak yang belum tersentuh.
"Fenomena-fenomena ini kan ada, misalnya politik uang untuk beli suara, kenapa tidak ditindak lanjuti polisi? Kemudian, kenapa tidak ungkap Posko partai lokal Aceh dan NasDem yang dirusak? Ini yang harusnya diurus polisi dan konsentrasi Bawaslu," tegas Haris. (*aktual)
Posting Komentar