Susan Jasmine Lurah Kristen
















Oleh: Molyadi Samuel AM
Penulis Buku “Dokumen Pemalsuan Alkitab”
Belum lama ini, Jakarta dihebohkan dengan penolakan warga Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan terhadap lurah perempuan beragama Kristen Protestan, Susan Jasmine Zulkifli. Ia dianggap tidak merepresentasikan wilayah Lenteng Agung yang mayoritas beragama muslim.
Karenanya, warga minta Susan yang non Muslim itu dipindahtugaskan ke kelurahan lain yang warganya lebih heterogen.
Ribuan warga Muslim yang tergabung dalam Forum Penolak Penempatan Lurah Lenteng Agung itu berunjuk rasa di depan Kantor Kelurahan Lenteng Agung. Menurut warga, aksi ini digelar karena permohonan warga Muslim untuk meninjau kembali Lurah Lenteng Agung tak mendapatkan respon positif.
Warga yang kecewa dengan sikap arogan pemerintah terkait penempatan Lurah Lenteng Agung, memajang sejumlah spanduk berisi protes terhadap Lurah hasil lelang Gubernur Jokowi, diantaranya: “Kediktatoran adalah Bagian dari Kezaliman.”
Namun Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dengan pongahnya menolak aspirasi warga Lenteng Agung. Wagub yang juga beragama Kristen Protestan itu mengaku tidak peduli dengan agama atau jenis kelamin anak buahnya. Selama bisa menjalankan tugas dengan baik, maka tidak ada alasan untuk memecat bawahan.
Mantan Bupati Belitung Timur ini kembali menegaskan bahwa aspirasi warga Muslim Lenteng Agung tersebut pantas untuk diabaikan karena keinginan mereka itu bertentangan dengan konstitusi.
“Jadi saya tegaskan, tidak ada urusannya kinerja orang dengan agama, kita hanya taat pada konstitusi, bukan pada konstituen,” tegasnya.
Untuk membela lurah Kristen, Ahok juga mengungkapkan bahwa ayah kandung Susan Jasmine Zulkifli adalah seorang Muslim. “Malah bapaknya Susan itu muslim loh. Saya pernah cek itu,” bebernya. Kalau statemen Ahok itu benar, berarti Lurah Susan sebagai seorang murtadin mantan muslimah.
MUSLIM HARAM DIPIMPIN KRISTEN
Syariat Islam mengatur dengan jelas pedoman memilih pemimpin, salah satunya adalah kriteria pemimpin yang syar’i, antara lain: beragama Islam, beriman, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada syariat yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
“Sesungguhnya walimu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)” (Qs Al-Ma’idah 55).
Prinsip ini ditegaskan dengan larangan menjadikan orang kafir Yahudi dan Kristen sebagai pemimpin:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (Qs Al-Ma’idah 51).
Larangan ini dipertegas dengan ancaman Al-Qur’an dalam surat An-Nisa’ 138-139, An-Nisa’ 144, Ali Imran 28 dan At-Taubah 23.
Kriteria lain seorang pemimpin dalam Syariat Islam adalah dari kalangan pria. Karena nas-nas Al-Qur’an dan hadits menyatakan larangan wanita menjadi imam negara. Hal ini bukanlah masalah khilafiyah tetapi sudah menjadi ijma’ (consensus) para ulama dan fuqaha dari semua mazhab Islam baik salaf (klasik) maupun khalaf (kontemporer). Mereka telah sepakat bahwa tidak sah dan haram wanita menjadi kepala negara. Apabila hukum ini dilanggar, maka akan menjadi salah satu sebab kehancuran bangsa dan negara. Ijma’ ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW:
“Tidak akan beruntung (berjaya) selama-lamanya suatu kaum yang yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita” (HR Bukhari dalam, Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ahmad).
Jatuhnya pilihan kepada laki-laki sebagai imam (pemimpin) bukanlah sikap diskriminatif, melainkan karena secara kodrati Allah memberikan beberapa kelebihan (keunggulan) kepada laki-laki dibanding wanita, baik fisik maupun mental: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita)…” (Qs An-Nisa 34).

BIBEL PUN HARAMKAN LURAH WANITA
Larangan wanita menjadi pemimpin bukan hanya monopoli Islam. Bahkan Bibel juga melarang keras wanita menjadi pemimpin: “Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri” (I Timotius 2: 12-14).
Manfred T Brauch, seorang profesor theologia Alkitabiah di Eastern Baptist Theological Seminary, Philadelphia mengomentari ayat tersebut sebagai berikut, “Ini benar-benar ucapan yang sulit. Bahasa yang digunakan nampaknya langsung dan jelas… Sebagai seorang laki-laki, saya yakin saya tidak dapat memahami sepenuhnyha pengaruh ucapan Rasul ini terhadap perempuan” (Hard Saying of Paul,edisi Indonesia: Ucapan Paulus yang Sulit, hlm. 254).
Bahkan dalam ayat yang lain Bibel menyatakan bahwa wanita tidak boleh menggunakan hak suara:“Sama seperti dalam semua Jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat” (I Korintus 14: 34).
Fatwa haramnya presiden wanita itu sudah menjadi harga mati dalam Bibel, karena dalam kitab Taurat disebutkan bahwa wanita ditakdirkan bukan untuk berkuasa, tapi untuk dikuasai laki-laki.
“Firman-Nya kepada perempuan itu: “Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu” (Kejadian 3: 16, bandingkan: Efesus 5: 22-24). []