Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti "jenis kelamin", kemudian menjadi sebuah istilah yang bermakna pembedaan peran dan tanggung-jawab antara laki-laki dan perempuan. Namun belakangan, Gender tidak lagi dibatasi pada persoalan sex (jenis kelamin) terkait maskulin dan feminin dalam tataran heterosexual, tapi juga mencakup jenis Gender ketiga yang bersifat cair dan berubah-ubah, serta senang memakai pakaian Gender lain dalam tataran homosexual atau lesbianisme.
Istilah "Bias Gender" biasa digunakan untuk menunjukkan suatu kondisi pembedaan yang merugikan kaum wanita dan menguntungkan kaum pria sebagai akibat dari perbedaan jenis kelamin. Sedang istilah "Kesetaraan Gender" biasa digunakan untuk menunjukkan suatu kondisi yang posisi peran dan tanggung-jawab wanita dan pria setara tidak berbeda dalam semua hal.
Kini, dalam konteks Wawasan Kebangsaan, penulis mencoba menawarkan istilah "Keserasian Gender" untuk menunjukkan suatu kondisi keharmonisan dalam perbedaan peran dan tanggung-jawab antara laki-laki dan perempuan. Ini penting, karena Islam sebagai agama mayoritas bangsaIndonesia memiliki aturan yang komprehensif tentang pembagian peran dan tanggung-jawab antara pria dan wanita sesuai dengan aspek biologis dan psikologisnya masing-masing secara adil. Dengan "Keserasian Gender" akan terwujud keharmonisan hubungan antara jenis pria dan wanita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk menuju Indonesia yang adil dan makmur. Insya Allah !
ISLAM DAN GENDER
Di masa jahiliyyah, hampir seluruh bagian dunia menempatkan wanita sebagai jenis hina, makhluk rendah, manusia kelas dua, pelengkap kehidupan, barang hiburan, pemuas hawa nafsu, sumber dari segala dosa dan budak rumah tangga. Wanita menjadi korban ketidak-adilan dan mangsa penindasaan selama berabad-abad.
Di Jazirah Arab, mengubur hidup-hidup anak perempuan menjadi tradisi yang dibanggakan. Lalu Rasulullah Muhammad SAW datang menyinari dunia dengan Risalah Islam yang membela wanita dari ketidak-adilan dan menyelamatkannya dari penindasan, bahkan mengangkat derajatnya ke tingkat yang sangat terhormat dan memberi perlindungan tingkat tinggi, serta memperlakukannya dengan seadil-adilnya.
Islam tidak melarang kaum wanita untuk berkarir dan berprestasi dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, sosial, budaya dan tekhnologi, selama terpenuhi rukun dan syaratnya, serta tidak dilanggar batasan syariatnya. Bahkan dalam Islam, wanita diwajibkan untuk menuntut ilmu sebagaimana diwajibkannya kaum pria. Dalam ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, wanita dan pria punya kewajiban yang sama, serta mendapat janji dan ancaman yang sama pula. Ada pun dalam pembedaan peran dan tanggung-jawab antara laki-laki dan perempuan dalam harmoni kehidupan, maka Islam menetapkan aturan yang sangat adil sesuai aspek biologis dan psikologis masing-masing jenis kelamin, untuk mewujudkan "Keserasian Gender" yang mencerminkan "Keadilan Gender" dalam makna yang benar.
Dalam Islam, wanita makhluk mulia dan terhormat yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi, bahkan memiliki sejumlah keistimewaan yang tidak dimiliki kaum pria. Islam menjadikan penghormatan kepada ibu tiga kali lebih utama dari pada penghormatan kepada ayah. Islam menempatkan surga di telapak kaki ibu, bukan di telapak kaki ayah. Islam mewajibkan pria yang membayar mahar perkawinan kepada wanita, tidak sebaliknya. Islam mewajibkan pria untuk memberi perlindungan kepada wanita, bukan sebaliknya. Islam mengutamakan pihak wanita dari pada pihak pria dalam hak hadhonah (pemeliharaan anak) saat terjadi perceraian. Islam membebankan pria dengan kewajiban berat yang tidak dibebankan kepada wanita, seperti mencari nafkah, menegakkan shalat berjama'ah di masjid, melaksanakan shalat Jum'at, memimpin negara dan jihad.
Bahkan dalam sejumlah hal yang tidak sedikit, Islam lebih memperhatikan wanita dari pada pria. Misalnya, dalam pembagian warisan, ana laki mendapat bagian dua kali bagian anak perempuan dari warisan ayahnya yang meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa si anak laki berkewajiban untuk menanggung nafkah ibu dan saudari-saudarinya yang ditinggal sang ayah, sedang si anak perempuan tidak diwajibkan yang demikian itu. Secara matematis, bagian warisan anak laki dalam waktu tertentu akan habis terpakai untuk pembiayaan keluarga, sedang bagian warisan anak perempuan akan tetap tidak berkurang.
Misal lainnya, dalam soal pemberian (hadiah / hibah), Islam menganjurkan penyama-rataan bagian antara anak laki dan perempuan, bahkan jika harus dibedakan maka dianjurkan bagian anak perempuan yang dilebihkan dari pada bagian anak laki, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani rhm dan Imam Al-Baihaqi rhm tentang sabda Nabi Muhammad SAW yang bunyi terjemahannya : "Samakanlah di antara anak-anakmu dalam pemberian. Andaikata aku melebihkan bagian seseorang (dari anak-anakku), niscaya aku lebihkan bagian anak perempuan." Disana masih banyak lagi dalil-dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah yang menunjukkan keistimewaan wanita yang tidak dimiliki pria. Silakan menelusurinya bagi yang ingin tahu lebih banyak.
Selain itu, Islam memberi wanita "cuti rutin" dari shalat tanpa qodho dan puasa dengan qodho saat haidh atau nifas. Tentu ini hal yang sangat istimewa buat kaum wanita, sebagai rahmat dari Allah SWT untuk memudahkan kehidupan mereka dan meringankan bebannya. Betapa Islam "memanjakan" kaum wanita dengan penuh cinta dan kasih sayang. Subhanallah !
BARAT DAN GENDER
Kaum wanita di Barat mengalami nasib tragis berupa penindasan berkepenjangan akibat jenis kelamin. Dari zaman Yunani kuno hingga zaman modern sekali pun, wanita divonis sebagai manusia cacat, bahkan dianggap sebagai makhluq setengah manusia, sehingga hanya menjadi objek perlakuan sewenang-wenang dari kaum pria yang merasa sebagai manusia utuh dan sempurna. Sementara agama yang mereka anut tidak memberikan solusi sejati terhadap persoalan tersebut.
Akumulatif kekecewaan dan sakit hati kaum wanita di Barat telah melahirkan Gerakan Feminisme yang merupakan pemberontakan wanita Barat terhadap kezaliman kaum prianya. Sekitar tahun 1970-an, Gerakan Feminisme di London melahirkan tuntutan "Gender Equatity" (Kesetaraan Gender), yaitu tuntutan penyetaraan serta penyamaan peran dan tanggung-jawab laki-laki dan perempuan, mulai dari persoalan individu, keluarga hingga urusan negara.
Hingga kini pun, Barat tidak punya solusi bagus untuk mengatasi persoalan "Bias Gender" yang terus berlangsung hingga saat ini. Sekali pun di Barat telah terjadi Gerakan Feminisme secara besar-besaran dalam tuntutan "Kesetaraan Gender", namun pada prakteknya tetap saja Barat menempatkan wanita hanya sebagai "Budak Syahwat". Lihat saja, dengan dalih modernitas, kecantikan wanita difestivalkan, dan keindahan tubuhnya dipertontonkan, serta goyang erotisnya diperlombakan. Bahkan tarian wanita telanjang (striptis) dijadikan objek wisata resmi, dan pelacuran pun dijadikan profesi kerja legal bagi perempuan. Semua itu fakta tak terpungkiri, bahwa kaum lelaki di Barat tetap dijadikan nomor satu sebagai "pembeli" dan "pemakai", sedang kaum perempuan tetap dijadikan nomor dua sebagai objek yang "dibeli" dan "dipakai".
Dengan demikian, latar belakang persoalan Gender di tengah masyarakat Barat dan penanganannya tidak sama dengan apa yang terjadi dalam sejarah Islam. Islam tidak pernah punya persoalan dengan "Gender". Dalam Islam tidak ada "Bias Gender", sehingga Islam tidak butuh "Kesetaraan Gender". Islam telah mengajarkan dan mengamalkan konsep "Keserasian Gender" yang sangat sempurna dan menakjubkan sejak hampir lima belas abad lalu, melalui praktek kehidupan Rasulullah SAW dan Ahlul Bait serta Para Shahabatnya yang mulia, rodhiyallahu 'anhum. Alhamdulillah !
INDONESIA DAN GENDER
Para pegiat Kesetaraan Gender di Indonesia berasal dari kalanganLiberal, karena Kesetaraan Gender sebagai salah satu jargon Feminisme memang lahir dari rahim Liberal. Gerombolan Liberal sudah sejak lama melakukan gerakan sistematis dan strategis untuk menggolkan proyek "Kesetaraan Gender". Di tahun 1980, mereka berhasil menyusup dan mempengaruhi Pemerintah Republik Indonesia untuk ikut menandatangani Konvensi Kesetaraan Gender yang dicetuskan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Kopenhagen. Konvensi tersebut dikenal sebagai "Convention on The Elimination of all forms of Discrimination Againts Women" yang disingkat dengan CEDAW.
Lalu di tahun 2000, mereka sukses mendorong Pemerintah RI untuk menerbitkan Instruksi Presiden No.9 Th. 2000 tentang Pengarus Utamaan Gender dalam Pembangunan. Dengan Inpres ini, Pemerintah RI ingin menunjukkan keseriusan komitmennya terhadap kesepakatan CEDAW yang pernah ditandai-tanganinya.
Dan di sekitar tahun 2006, melalui salah seorang pegiat Kesetaraan Gender yang aktiv di Pengarus Utamaan Gender - Departemen Agama RI, mereka melemparkan Draft Counter Legal - Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang berisi usulan perubahan pasal-pasal perkawinan dan warisan dalam KHI, seperti larangan poligami, pemberian hak thalaq kepada wanita, penyamaan bagian waris anak laki dan perempuan, pemberlakun masa 'iddah bagi pria, dan sebagainya.
Selanjutnya di tahun 2011, para pegiat Kesetaraan Gender di Komnas HAM dan Komnas Perempuan serta LSM-LSM LIBERAL lainnya, telah berhasil mendorong pembentukan Tim Kerja (Timja) yang mengatas-namakan Kaukus Perempuan di DPR RI, untuk menyusun Draft Rancangan - Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender ( RUU - KKG ). Konon kabarnya, Timja tersebut telah melakukan studi banding ke Eropa dengan biaya milyaran rupiah yang berasal dari uang anggaran negara. Kini, rencananya DPR RI akan membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk menggodok lebih lanjut RUU tersebut. Prosesnya memang masih panjang, tapi langkah untuk melahirkan UU KKG makin nyata, konkrit dan jelas.
Sebenarnya, Indonesia tidak punya persoalan dengan Gender, karena mayoritas bangsa Indonesia menganut ajaran Islam yang tidak "Bias Gender". Dan fakta lapangan pun dengan terang benderang menunjukkan bahwa wanita Indonesia memperoleh kebebasan berkarir dan berprestasi di segala bidang dengan jaminan perundang-undangan yang senantiasa terikat dengan norma-norma suci agama dan nilai-nilai luhur budaya. Lihat saja, wanita Indonesia ada di segala bidang, mulai dari sebagai ibu rumah tangga, guru, petani, nelayan, buruh pabrik, sarjana, cendikiawan, dokter, insinyur, ekonom, saintis, politisi, pejabat, menteri, anggota dewan, pimpinan partai, wartawan, kolumnis, presenter, motivator, pedagang eceran, pengusaha berkelas, bankir, direktur, komisaris, polisi, tentara, pengacara, jaksa, hakim, pramugari, pilot hingga supir sekali pun, dan lain sebagainya.
Karenanya, Indonesia tidak butuh UU KKG atau UU sejenisnya yang bertentangan dengan Syariat Islam yang menjadi ruh sebenarnya daripilar-pilar kebangsaan Indonesia.
DRAFT RUU - KKG
Draft RUU - KKG yang disusun oleh Timja sejak 24 Agustus 2011, kini sengaja disebar-luaskan di tengah masyarakat. Entah untuk memancing emosi umat Islam, atau sekedar politik pengalihan, atau justru bagian strategi pengkondisian agar RUU - KKG tersebut bisa berhasil dijadikan Undang-Undang dengan tanpa hambatan. Apa pun alasannya, umat Islam wajib waspada !
Melihat dan memperhatikan Draft RUU - KKG versi Timja yang beredar di masyarakat, ada sejumlah sorotan penting dan wajib segera disikapi oleh umat Islam, karena bertentangan dengan ajaran Islam, antara lain :
Pertama, dalam Bab I pasal 1 ayat 1 tentang pendefinisian "Gender" yang menjadikan pembedaan peran dan tanggung-jawab laki-laki dan perempuan sebagai "hasil konstruksi sosial budaya" yang bersifat "tidak tetap" dan "dapat dipertukarkan". Padahal, pembedaan peran dan tanggung-jawab laki-laki dan perempuan dalam Islam merupakan ketentuan Allah SWT dan Rasulullah SAW yang bersifat tetap tidak berubah dan tidak perlu dipertukarkan, karena sudah sempurna dan adil.
Kedua, dalam Bab I pasal 1 ayat 2 tentang pendefinisian "Kesetaraan Gender" yang mencantumkan penyamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki dalam semua bidang kehidupan. Penyetaraan dan penyamaan macam ini merupakan pemaksaan dan penindasan gaya baru terhadap kaum perempuan. Apalagi hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat mustahil, karena adanya perbedaan biologis dan psikologis antara perempuan dan laki-laki merupakan suatu keniscayaan, yang secara otomatis menuntut pembedaan peran dan tanggung-jawab sesuai dengan karakter dasarnya masing-masing.
Ketiga, dalam Bab I pasal 1 ayat 3 tentang pendefinisian "Keadilan Gender" yang menegaskan persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat dan warga negara. Lucu, "Kesetaraan Gender" yang memaksa kaum perempuan untuk mengambil peran dan tanggung-jawab kaum pria yang bertentangan dengan kodrat biologis dan psikologisnya, kok bisanya disandingkan dengan "Keadilan Gender" ?! Padahal, justru konsep "Kesetaraan Gender" itu sendiri sudah meruntuhkan dan memporak-porandakan norma-norma "keadilan" dari fondasinya, sehingga mestinya "Kesetaraan Gender" tersebut disandingkan dengan "Ketidak-adilan Gender". Karenanya, "Keadilan Gender" hanya boleh disandingkan dengan "Keserasian Gender" yang menempatkan dan memperlakukan perempuan dan laki-laki secara adil sesuai kodratnya masing-masing berdasarkan ketentuan wahyu Allah Yang Maha Adil.
Keempat, dalam Bab I pasal 1 ayat 4 tentang pendefinisian "Diskriminasi" yang diartikan sebagai segala bentuk pembedaan, pengucilan atau pembatasan dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu. Padahal, pembedaan dan pembatasan tidak bisa disamakan dengan pengucilan dan kekerasan. Pembedaan dan pembatasan yang datang dari ajaran agama Islam adalah kewajiban agama, bukan kejahatan. Peran dan tanggung-jawab laki-laki dan perempuan wajib dibedakan sebagaimana diatur oleh ajaran Islam. Baik perempuan mau pun laki-laki harus dibatasi peran dan tanggung-jawabnya masing-masing agar tercipta keharmonisan hidup, sebagaimana Islam membatasinya.
Kelima, dalam Bab I pasal 1 ayat 5 s/d 12 tentang strategi, perangkat dan infrastruktur serta anggaran untuk mensukseskan program "Kesetaraan Gender" secara nasional di Indonesia. Artinya, seluruh perangkat negara Indonesia dengan menggunakan uang rakyatnya, harus dilibatkan dalam program yang nyata-nyata bertentangan dengan nilai-nilai adat dan budaya mana pun, serta menabrak ajaran semua agama, khususnya Islam sebagai agama yang dianut mayoritas bangsa Indonesia.
Keenam, dalam Bab II pasal 2 dan 3 tentang Asas dan Tujuan menyebutkan dasar-dasar Kesetaraan dan Keadilan Gender, yaitu : kemanusiaan, persamaan substantif, non-diskriminasi, manfaat, partisipatif, transparansi dan akuntabilitas. Perhatikan dengan baik bahwa agama tidak dijadikan dasar sama sekali ! Keadilan macam apa yang diperjuangkan tanpa ajaran agama ?! Itulah karenanya, KKG dalam RUU tersebut semestinya merupakan singkatan dari "Kesetaraan dan Ketidak-adilan Gender" !!!
Ketujuh, dalam Bab III Bagian Pertama banyak pasal "mubadzdzir" bahkan "haram" karena sudah diatur dalam Undang-Undang lain yang jauh lebih baik. Pasal 4 s/d 13 sudah diatur dalam UU Politik, Keimigrasian, Sisdiknas, Komunikasi dan Informasi, Ketenaga-kerjaan, Kesehatan, Perekonomian, Peradilan, Perkawinan dan KUHP. Contoh kebobrokan bagian ini, misalnya dalam pasal 12 ada ketentuan bahwa "Setiap orang berhak" antara lain : "(a) memasuki jenjang perkawinan dan memilih suami atau isteri secara bebas" dan "(e) atas perwalian, pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak". Kedua poin dalam pasal ini sangat berbahaya, karena pasal 12 a memberi kebebasan kawin beda agama secara mutlak, bahkan pasal ini tidak menjelaskan tentang "siapa memilih siapa", padahal dalam dunia Homosexual telah terjadi laki memilih laki sebagai pasangan suami-isteri, dan dalam dunia Lesbianisme sudah berlangsung perempuan memilih perempuan sebagai pasangan suami-isteri. Sedang pasal 12 e memberi "hak perwalian" kepada perempuan dan laki-laki, sehingga ke depannya perempuan pun boleh menjadi Wali Nikah. Ini bertentangan dengan UU Perkawinan yang sudah ada selama ini sebagai bagian dari KHI.
Kedelapan, dalam Bab III Bagian Kedua yang berisi pasal 14 dan 15 tentang kewajiban Negara dan Warga Negara dalam mensukseskan program "Kesetaraan Gender". Disana ada tercantum dua poin penting untuk disoroti dari sekian poin yang tertera, yaitu : Pertama, tentang kewajiban "penghapusan diskriminasi dalam bidang hukum", yang tentunya ke depan akan sangat bisa digunakan sebagai dasar perundang-undangan untuk menolak penerapan Hukum Islam bagi umat Islam itu sendiri, seperti : membatalkan Hukum Waris Islam yang menetapkan untuk anak laki dua bagian anak perempuan, dan memberikan Hak Thalaq kepada isteri sebagaimana yang dimiliki suami, bahkan pembolehan bagi perempuan untuk polyandri (bersuami lebih dari satu dalam satu waktu) sebagaimana halalnya bagi laki-laki untuk poligami (beristeri lebih dari satu dalam satu waktu), atau sebaliknya pengharaman poligami bagi pria sebagaimana pengharaman polyandri bagi wanita. Kedua, tentang kewajiban "perubahan perilaku sosial dan budaya yang tidak mendukung Kesetaraan Gender", artinya di hadapan Kesetaraan Gender tidak ada istilah "Kearifan Lokal" yaitu suatu istilah yang selama ini selalu mereka gunakan untuk menentang dan menolak penerapan Syariat Islam.
Kesembilan, dari Bab IV s/d Bab VI yang berisikan 50 pasal yaitu dari pasal 16 s/d 65, boleh disebut sebagai PASAL FULUS, karena isinya tentang membangun strategi, perangkat dan infrastruktur secara nasional dari pusat sampai ke daerah yang melibatkan semua instansi dan lembaga negara dengan anggaran pembiayaan dari UANG NEGARA. Ini menjadi pintu baru bagi "tikus-tikus negara" untuk menggerogoti uang negara secara "legal" sesuai justifikasi yang diberikan Undang-Undang yang dibuat tersebut. Dengan kata lain, RUU - KKG merupakan justifikasi dan legalisasi bagi "pemborosan uang negara" sekaligus menjadi "pembuka pintu korupsi" secara nasional.
Kesepuluh, dari Bab VII s/d Bab XI yang berisikan 14 pasal yaitu dari pasal 66 s/d 79, ada dua pasal yang sangat berbahaya, yakni : Pertama, pasal 67 yang menyatakan bahwa "Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan / atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu". Kedua, pasal 70 yang berbunyi "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan / atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 67 dipidana dengan pidana penjara paling lama ......(...........) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.......(...........)". Dalam Draft RUU - KKG masa penjara dan jumlah denda masih dikosongkan. Ini adalah "Pasal Kriminalisasi" ajaran Islam yang mengakui adanya pembedaan dan pembatasan peran serta tanggung-jawab antara pria dan wanita sesuai dengan aspek biologis dan psikologisnya masing-masing secara adil berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
AWAS, BAHAYA MENGANCAM !
Dengan demikian, jika Draft RUU - KKG sebagaimana diuraikan di atas dijadikan Undang-Undang dan diberlakukan di Indonesia, maka segenap umat Islam, pria mau pun wanita, ayah mau pun ibu, kakek mau pun nenek, Ustadz mau pun Ustadzah, Kyai mau pun Nyai, harus siap dipenjara dan didenda jika melakukan perbuatan yang bertentangan dengan "Kesetaraan Gender", walau pun dibenarkan Syariat Islam.
Misalnya : menolak homosexual dan lesbianisme, memberi warisan kepada anak perempuan separuh dari bagian anak laki, menyuruh wanita pakai jilbab, mengaqiqahkan anak perempuan dengan seekor kambing sedang anak laki dengan dua ekor kambing, melarang anak wanita kawin beda agama, melarang anak wanita pacaran, melarang anak wanita keluar malam, melarang wanita adzan di Masjid, melarang wanita Khathib Jum'at, menjadikan suami sebagai kepala keluarga, tidak mengizinkan isteri bekerja di luar rumah, menyuruh isteri hamil, mendesak isteri menyusui anak, meniduri isteri saat isteri tidak mau, menjewer atau menyentil telinga anak wanita dalam memberi pelajaran, apalagi memukul walau dengan "pukulan sayang" yang tidak melukai di tempat yang dibenarkan syar'i sebagaimana diajarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Semua itu dikatagorikan "kejahatan pidana" atau "kriminal" dengan sanksi hukuman penjara dan denda.
Jelaslah persoalannya, bahwa Draft RUU - KKG menjadi ancaman serius bahkan sangat berbahaya bagi umat Islam, karena Draft RUU - KKG tidak menjadikan agama sebagai dasar, bahkan secara jahat dan licik melakukan "kriminalisasi ajaran agama".
Jadi, RUU - KKG bukan untuk melindungi wanita, apalagi mengangkat derajat harkat dan martabat kaum perempuan. Justru, RUU - KKG menjebak kaum ibu agar tidak bisa lagi mengatur anak wanitanya. Di samping itu, RUU KKG membuka peluang penelantaran anak, baik laki mau pun perempuan, karena mendorong kaum wanita untuk aktif di ruang publik, sehingga meninggalkan "karir termulianya" sebagai "Ibu" bagi anak-anaknya di rumah yang selalu membutuhkan sentuhan dan kelembutan cinta serta kasih sayangnya.
Wanita Indonesia tidak butuh aturan yang justru merong-rong harkat dan martabatnya. Wanita Indonesia membutuhkan aturan yang mampu mengangkat harkat dan martabatnya sebagai wanita mulia. Karenanya, RUU - KKG harus dilawan habis-habisan oleh seluruh umat Islam dan segenap bangsa Indonesia. Pemerintah mau pun DPR RI wajib menolak pembahasan RUU - KKG tersebut.
Pemerintah dan DPR RI jangan membuang waktu untuk pembahasan hal yang tidak berguna, apalagi yang merusak. Menyangkut wanita, buat saja aturan yang memberi hak cuti bagi wanita pekerja yang haid, hamil dan melahirkan. Atau buat aturan cuti ’Iddah bagi wanita yang diceraikan/ditinggal mati suami. Atau buat aturan yang melarang penahanan terdakwa / terpidana wanita yang sedang hamil dan menyusui hingga selesai masa hamil dan menyusuinya. Atau buat aturan perlakuan istimewa bagi wanita di kendaraan umum padat penumpang seperti bus dan kereta agar terhindar dari pelecehan. Atau buat aturan yang melarang wanita mengumbar aurat agar tidak jadi korban perkosaan. Atau buat aturan perlindungan wanita pembantu rumah tangga yang rentan jadi korban penindasan dan pelecehan majikan, baik di dalam mau di luar negeri. Dan lain sebagainya dari berbagai aturan yang betul-betul manfaat bagi wanita Indonesia. Camkan !
KESIMPULAN
Kesimpulannya, Konsep "Kesetaraan Gender" tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang dikenal agamis, karena tidak ada satu agama pun yang menyetarakan pria dan wanita dalam peran dan tanggung-jawab. Semua agama memposisikan pria dan wanita berbeda, bahkan menjadikan perbedaan kedua jenis ini sebagai suatu keniscayaan, karena memang faktanya bahwa biologis dan psikologis kedua jenis ini berbeda. Apalagi konsep "Bias Gender" sangat bertentangan dengan ajaran Islam, karena konsep ini merupakan konsep zolim yang memposisikan dan memperlakukan wanita dengan sangat tidak adil.
Ada pun konsep "Keserasian Gender" merupakan konsep yang paling tepat karena berdiri atas dasar keadilan dalam perbedaan peran dan tanggung-jawab yang ditetapkan oleh wahyu Allah SWT yang Maha Mengetahui tentang segala kebutuhan tiap jenis ciptaan-Nya. Adil tidak berarti sama, tapi adil itu adalah menempatkan dan memperlakukan sesuatu pada tempat dan dengan cara semestinya sesuai dengan aturan Allah SWT Yang Maha Adil.
"Keserasian Gender" sebagai cerminan dari "Keadilan Gender" dalam makna yang benar merupakan bagian dari Wawasan Kebangsaan Indonesia yang mesti ditumbuhkan-kembangkan, karena Keserasian Gender adalah bagian dari Budi Pekerti yang mulia lagi luhur, bahkan merupakan bagian dari Akhlaq Karimah. Syair indah mengatakan :
Tegaknya rumah karena sendi
Runtuh sendi rumah binasa
Tegaknya bangsa karena budi
Hilang budi bangsa binasa
Semoga Allah SWT menyelamatkan kita dari segala bentuk makar kaum Kafir Liberal yang semakin hari semakin menjadi. Kepada segenap umat Islam dan seluruh komponen bangsa Indonesia harus selalu mewaspadai setiap gerak-gerik Setan Liberal sebagai virus paling berbahaya yang terus menerus menggerogoti tiang agama dan pilar bangsa. Stop perpecahan ! Ayo bersatu ! Jangan saling mengkafirkan sesama muslim karena persoalan Furu' ! Satukan kekuatan untuk ganyang musuh besar bersama kita, yaitu: LIBERAL!
Allahu Akbar !!!
Penulis: Habib Muhammad Rizieq, MA
Sumber: Suara-Islam.com
Posting Komentar