Posisi Indonesia dalam KTT APEC 2013
di Bali hanya sebagai pecundang. Tidak ada yang bisa dibanggakan, karena
Indonesia tidak memiliki daya tahan yang kuat dalam persaingan dunia
global, khususnya dalam liberalisasi ekonomi dan investasi.
Justru liberalisasi yang
didukung Indonesia itu hanya akan menciptakan ketimpangan, dan Indonesia
akan menjadi pecundang. Karena itu, siapa pun presiden terpilih pada
Pemilu 2014 nanti, Indonesia akan tetap dimanfaatkan oleh Amerika
Serikat (AS).
“APEC itu peluang dan ancaman.
Kita bisa sebagai pecundang atau penantang. Bagi saya, kita pecundang,”
kata pengamat politik ekonomi Ichsanudin Noorsy dalam diskusi “APEC dan
empat Pilar Bangsa” bersama Ketua FPKB MPR RI, Lukman Edy dan staf
khusus Presiden SBY, Firmanzah di Gedung MPR RI Jakarta, Senin (30/9).
Ichsanudin mengatakan, dari berbagai indikator, pemerintah Indonesia tidak bisa memainkan peran yang menguntungkan di KTT APEC.
Di kawasan ASEAN saja, kata dia, Indonesia selalu dalam posisi korban, terutama korban Singapura, Malaysia, dan Thailand.
“Buktinya, pada 15 Februari
2005, Presiden SBY meminta perjanjian ekstradisi ke Singapura, tetapi
yang didapat adalah jaminan investasi Singapura di Indonesia. Ini bukti
kita lemah,” katanya.
Sementara itu, Lukman Edy mengatakan, ada dua kepentingan dalam konteks APEC.
Lukman Edy |
Pertama, negara-negara mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi.
Kedua, ada kepentingan yang
ingin mengubah kesepakatan dalam APEC itu sendiri, terutama untuk
menjaga kepentingan ekonomi dalam negeri setiap negara anggota.
“Dalam konteks ini, Indonesia
berada di mana? Kalau menurut saya, Indonesia masuk dalam kepentingan
pertama, cenderung mendorong liberalisasi perdagangan,” katanya.
Contohnya, Bogor Goals tak bicara lagi perlindungan dalam negeri, tetapi mendesak liberalisasi perdagangan.
“Fakta memang, sekitar 20 persen ekspor kita ke negara-negara anggota APEC, tetapi hasil akhirnya tetap defisit,” katanya.
Anehnya, kata Lukman Edy,
Indonesia tidak pro aktif memperjuangkan liberalisasi sektoral. Justru
hal ini lebih disuarakan oleh negara-negara lain.
“Sebenarnya dalam APEC ini,
Indonesia mau membela yang mana? Apakah kita masuk kategori negara maju,
walau kenyataannya kesenjangan masih tetap ada. Kenapa Indonesia tidak
suarakan kesenjangan itu?” katanya.
Lukman berharap, walau Indonesia
tidak menyuarakan kesenjangan itu, tetapi memberi dukungan kepada
negara-negara berkembang lainnya. Itu yang perlu dilakukan.
“Karena kalau Indonesia
mengklaim sebagai negara maju, ini ibarat lebih besar pasak dari tiang.
Tetapi itulah yang terjadi,” katanya.
Firmansyah mengatakan,
keikutsertaan Indonesia dalam APEC untuk menjalankan amanat konstitusi,
yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Apalagi Indonesia sudah dua kali menjadi tuan rumah KTT APEC, yakni pada 1994 dan 2013 ini.
“Jadi, kita ikut mendorong
pengurangan kesenjangan dengan mempercepat pembangunan infrastruktur,
karena dana APBN tak mencukupi. Nilai investasi asing khususnya lima
negara besar (AS, Australia, Jepang, Korsel, dan Singapura) saat ini
mencapai Rp 647 triliun. Itu yang menjadikan Indonesia sebagai tujuan
investasi dunia,” katanya.
[*/suarapembaruan]
Posting Komentar