Banda Aceh - Pada tanggal 2 Mei 2013, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) telah mengabulkan gugatan PT. Kalista Alam atas SK pencabutan ijin usaha perkebunan Budidaya (IUP-B) yang dikeluarkan oleh Gubernur Aceh. Dalam amar keputusannya Majelis Hakim menyatakan bahwa SK pencabutan ijin usaha tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena mengeluarkan putusan yang belum berkekuatan hukum tetap mengingat perkara tersebut sedang dalam proses pemeriksaan Kasasi di Mahkamah Agung. Putusan Hakim juga memerintahkan agar Gubernur Aceh, Zaini Abdullah mencabut SK No. 525/BP2T/5078/2012 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya
Atas putusan tersebut dan pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh Yusri Arbi, WALHI Aceh menyesalkan keputusan hukum tersebut. Direktur Eksekutif WALHI Aceh, T. Muhammad Zulfikar dalam siaran persnya, Sabtu (4/5/2013) berpandangan bahwa pertama, kesalahan terbesar dalam putusan tersebut adalah hakim melupakan bahwa dasar pencabutan SK bukan hanya putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negeri.
Atas putusan tersebut dan pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh Yusri Arbi, WALHI Aceh menyesalkan keputusan hukum tersebut. Direktur Eksekutif WALHI Aceh, T. Muhammad Zulfikar dalam siaran persnya, Sabtu (4/5/2013) berpandangan bahwa pertama, kesalahan terbesar dalam putusan tersebut adalah hakim melupakan bahwa dasar pencabutan SK bukan hanya putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negeri.
"Tapi bahwa keputusan TUN tersebut bertentangan dengan Undang-Undang. Artinya, yang dilihat oleh hakim harusnya keputusan TUN yang lama bertentangan dengan Undang-Undang. Kedua, bahwa keputusan TUN yang baru dikeluarkan oleh pejabat TUN yang sah, jadi tidak ada basis argumentasi bahwa KTUN tersebut harus dicabut. Ketiga, harusnya gugatan PT Kalista alam menunggu putusan MA, dan sepatutnya PTUN Banda Aceh mengesampingkan gugatan tersebut dan menunggu hasil dari MA," ujarnya.
Karena juga sesungguhnya didalam UU PTUN perkara tersebut, harusnya final di tingkat pengadilan tinggi dan tidak perlu kasasi. Keempat, dalam konteks krisis lingkungan hidup, Majelis Hakim tidak memahami substansi dan urgensi perlindungan terhadap lingkungan hidup dan rakyat di tengah bencana ekologis yang terjadi di Aceh yang dikeluarkan dalam bentuk SK pencabutan ijin kepada PT. Kalista Alam.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Abetnego Tarigan menyatakan bahwa WALHI sebagai tergugat intervensi akan banding terhadap putusan PTUN Banda Aceh ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negeri di Medan dan mendorong Gubenur Aceh tidak menyerah dengan aktor perusak lingkungan dan melakukan upaya hukum yang sama sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup dan masyarakat yang menjadi mandat pengurus negara yang harus dijalankan sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 32/2009.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Abetnego Tarigan menyatakan bahwa WALHI sebagai tergugat intervensi akan banding terhadap putusan PTUN Banda Aceh ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negeri di Medan dan mendorong Gubenur Aceh tidak menyerah dengan aktor perusak lingkungan dan melakukan upaya hukum yang sama sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup dan masyarakat yang menjadi mandat pengurus negara yang harus dijalankan sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 32/2009.
Upaya banding yang akan dilakukan oleh WALHI diyakni sebagai upaya perjuangan hukum dan jalan untuk memperjuangkan keadilan ekologis, ditengah skeptisnya publik terhadap upaya penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan di Indonesia.
T. Muhammad Zulfikar mengatakan bahwa PT Kalista Alam sudah banyak sekali melakukan pelanggaran hukum, selain proses perizinan yang melanggar prosedur dan tatacara yang baik, perusahaan sawit yang beroperasi di Kabupaten Nagan Raya Aceh tersebut juga dinilai telah melakukan pelanggaran terhadap Inpres No. 10 tahun 2011. Lahan perusahaan itu berada di dalam revisi kedua peta moratorium. Segala kegiatan perusahaan di areal seluas 1.605 hektar tersebut harus dihentikan.
T. Muhammad Zulfikar mengatakan bahwa PT Kalista Alam sudah banyak sekali melakukan pelanggaran hukum, selain proses perizinan yang melanggar prosedur dan tatacara yang baik, perusahaan sawit yang beroperasi di Kabupaten Nagan Raya Aceh tersebut juga dinilai telah melakukan pelanggaran terhadap Inpres No. 10 tahun 2011. Lahan perusahaan itu berada di dalam revisi kedua peta moratorium. Segala kegiatan perusahaan di areal seluas 1.605 hektar tersebut harus dihentikan.
Perusahaan tersebut terindikasi melanggar Undang Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, karena beroperasi tanpa izin. Selain itu, menurutnya, perusahaan ini juga bisa dianggap menyalahi aturan dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, karena beroperasi di kawasan Ekosistem Leuser (Taman Nasional).
Kasus PT Kalista Alam bermula pada Agustus 2011 ketika Gubernur Aceh saat itu menerbitkan izin usaha perkebunan bagi PT Kalista Alam. Padahal, pada Mei 2011, areal seluas 1.605 hektar yang diizinkan tersebut, masuk dalam areal moratorium. Izin Gubernur Aceh tersebut kemudian digugat oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia Aceh ke PTUN Aceh. Namun majelis hakim saat itu memutuskan menolak gugatan Walhi Aceh dan Walhi pun menyatakan banding. Menyikapi keputusan ini, tergugat I Pemerintah Aceh dan tergugat II intervensi Walhi Aceh, menyatakan akan banding ke PTTUN di Medan. Teuku Muhammad Zulfikar, Direktur Walhi Aceh, tegas mengatakan, tidak menerima putusan PTUN Banda Aceh yang mengabulkan gugatan PT. Kalista Alam.
Kasus PT Kalista Alam bermula pada Agustus 2011 ketika Gubernur Aceh saat itu menerbitkan izin usaha perkebunan bagi PT Kalista Alam. Padahal, pada Mei 2011, areal seluas 1.605 hektar yang diizinkan tersebut, masuk dalam areal moratorium. Izin Gubernur Aceh tersebut kemudian digugat oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia Aceh ke PTUN Aceh. Namun majelis hakim saat itu memutuskan menolak gugatan Walhi Aceh dan Walhi pun menyatakan banding. Menyikapi keputusan ini, tergugat I Pemerintah Aceh dan tergugat II intervensi Walhi Aceh, menyatakan akan banding ke PTTUN di Medan. Teuku Muhammad Zulfikar, Direktur Walhi Aceh, tegas mengatakan, tidak menerima putusan PTUN Banda Aceh yang mengabulkan gugatan PT. Kalista Alam.
“Kita berkoordinasi lagi dengan tim untuk merencanakan upaya banding ke PTTUN Medan,” kata TM Zulfikar.
Sebelumnya juru bicara TKPRT (Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa), Irsadi Aristora, dalam orasi di depan kantor PTUN meminta majelis hakim PTUN Banda Aceh yang menyidangkan kasus ini bertindak adil. Dia berharap, tidak ada permainan dalam persidangan kasus ini. “Jika putusan ini tidak adil akan merugikan masyarakat Rawa Tripa dan Pemerintah Aceh.”
Sebelumnya juru bicara TKPRT (Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa), Irsadi Aristora, dalam orasi di depan kantor PTUN meminta majelis hakim PTUN Banda Aceh yang menyidangkan kasus ini bertindak adil. Dia berharap, tidak ada permainan dalam persidangan kasus ini. “Jika putusan ini tidak adil akan merugikan masyarakat Rawa Tripa dan Pemerintah Aceh.”
Irsadi berharap, Pemerintah Aceh dan Walhi Aceh untuk banding jika hakim PTUN Banda Aceh memenangkan PT Kalista Alam dalam gugatan itu.[003-rel]
Posting Komentar