Klik Gambar untuk memperbesar |
"Tuntut supaya wilayah Kec. Lawe Baleng, Kab. Karo dan bagian-bagian lain wilayah Langkat dikembalikan/dimasukkan ke dalam wilayah Aceh..."
Oleh Yusra Habib Abdul Gani
SELAIN juru runding GAM, banyak orang tidak tahu dan tidak mau
tahu tentang apa sebenarnya rahasia di balik kalimat: "Batas Aceh
berdasarkan 1 Juli/1956" yang disebut pada poin 1.1.4 MoU Helsinki. Jika
ditelusuri lebih jauh, ternyata dalam perundang-undangan Indonesia,
tidak ditemukan suatu undang-undang yang mengatur tentang batas Aceh
pada 1 Juli 1956.
Lalu, mengapa 1 Juli 1956 dipakai oleh juru runding GAM-RI sebagai dasar
hukum menentukan batas wilayah Aceh? Prediksi yang paling mendekati
ialah UU No.24/1956, tentang: "Pembentukan Deretan Otonom Propinsi Aceh,
dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera-Utara", selain
itu tidak ada.
Tetapi UU ini baru disahkan pada 29 November 1956 dan diundangkan pada 7
Desember 1956, bukan pada 1 Juli 1956. Boleh dikatakan, status UU
No.24/1956 pada 1 Juli 1956, masih berbentuk draf (RUU), berupa embrio
hukum yang belum dibubuhi nomor. Secara yuridis formal, sejak tarikh
29/11/1956 dan atau 7/12/1956 inilah UU No.24/1956 baru mempunyai
kepastian yang mengikat dan sah dijadikan sebagai dasar hukum. Dengan
demikian, MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 sangat
rapuh, cacat hukum, dan illegal.
Juru runding GAM sama sekali tidak tahu saat menandatangani MoU Helsinki
tahun 2005, tentang kecurangan politik Indonesia dalam arena negosiasi,
yang memakai taktik 'pengelabuan kalimat' lewat jebakan-jebakan jitu--mutasyabuhat (kalimat
kontroversial)--yang seakan-akan benar, tetapi sebetulnya melanggar.
Susunan ayat dalam suatu MoU mesti muhkamah (yang pasti-pasti) dan jika
sekiranya terpaksa dipakai juga ayat mutasyabihat, mesti diberi
penjelasan, sehingga tidak menimbukan interpretasi yang berbeda. Jika
tidak, akan besar resikonya seperti yang kini terjadi.
Selain itu, Indonesia memakai falsafah politik dagang: "menjual kucing
dalam karung" di Helsinki. Buktinya, yang dijadikan batasan Aceh
berdasarkan patokan pada 1 Juli 1956, yang masih berupa draf UU yang
belum dibubuhi nomor, lalu kini diterima GAM dan dipakai sebagai dasar
menentukan batas wilayah Aceh. Ini perbuatan tercela. Dari kacamata
moral dan keadilan, fakta ini sudah cukup membuktikan bahwa Indonesia
bersikap tidak jujur.
Ini suatu kesalahan yang boleh dituntut, karena telah membiarkan suatu
pelanggaran terjadi, dengan membenarkan yang tidak benar sebagai
kebenaran (Omissi). Hanya saja mungkin suatu hal memalukan, karena Aceh
sudah terbiasa dalam sejarahnya beli "kucing Indonesia dalam karung".
Yang terjadi di Helsinki hanyalah pengulangan sejarah yang memalukan.
Sekarang, juru runding GAM (orang Aceh) baru sadar bahwa mereka sudah
telanjur dan sudah pula memamerkan kebodohan kita di mata dunia
internasional.
Seterusnya, maksud Indonesia menyebut 1 Juli 1956 --draf UU, selanjutnya
disebut UU No.24/1956--untuk memberkas, menggiring GAM supaya terpojok
dan menerima paket Otonomi. Dikatakan demikian, oleh karena UU ini
dinamakan: "Undang-undang Tentang Pembentukan Deretan Otonom Propinsi
Aceh, dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera-Utara".
Di sini jelas sudah, kendati kehadiran UU ini "sesuai dengan keinginan
dan kehendak rakyat di daerahnya masing-masing" (Pertimbangan UU
No.24/1956), tetapi maksud dilahirkan UU ini untuk menentukan status
Aceh (Provinsi baru) yang dimekarkan dari Provinsi Sumatera Utara dan
berdasarkan MoU Helsinki, Aceh ternyata tetap sebagai salah satu
Provinsi dalam NKRI.
Menyinggung soal batas dalam UU.No.24/1956, maka wilayah Keresidenan
Aceh yang dimaksud dalam Staatsblad 1934 No. 539, ditetapkan: Daerah
Aceh yang melingkungi Kabupaten-Kabupaten; 1. Aceh Besar, 2. Pidie, 3.
Aceh-Utara, 4. Aceh-Timur, 5. Aceh-Tengah, 6. Aceh-Barat, 7.
Aceh-Selatan dan Kota Besar Kutaraja dipisahkan dari lingkungan daerah
otonom Propinsi Sumatera-Utara dimaksud dalam Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang No. 5 tahun 1950 dan dibentuk menjadi daerah
yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri, tingkatan
ke-I dengan nama "Propinsi Aceh" (pasal 1, ayat 1, UU.No.24/1956).
Secara harfiah, tidak disebut Kab. Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, Aceh
Jeumpa, Bener Meriah, Gayo Lues, Pidie Jaya, Aceh Singkil, Nagan Raya,
Aceh Barat Daya, Simeulue dan Aceh Jaya. Dalam hal batas Aceh, kedua
belah pihak mesti mencari dasar hukum yang pasti-pasti (undisputed),
sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari. Apalagi kelahiran
Kabupaten-kabupaten tadi lebih awal daripada MoU Helsinki.
Dengan menyebut 1 Juli/1956 sebagai dasar hukum, otomatis batal demi
hukum, karena tidak mempunyai kepastian hukum. Kalau UU No.24/1956 dan
poin 1.1.4 MoU Helsinki dipakai sebagai dasar hukum menentukan batas
wilayah Provinsi NAD, tetap akan merumitkan dan menimbulkan masalah
baru, oleh sebab terjadi tumpang-tindih peraturan. Buktinya, dalam
"Memori Penjelasan UU No.24 tahun 1956 disebut:
"Dengan terbentuknya kembali daerah otonom Propinsi Aceh ini maka wilayah daerah otonom Propinsi Sumatera Utara akan meliputi hanya wilayah keresidenan-keresidenan Tapanuli dan Sumatera Timur saja."
Wilayah keresidenan-keresidenan Tapanuli yang dimaksud meliputi:
Sibolga, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Samosir, Toba Samosir, Humbang
Hasundutan, Nias, Nias Selatan, Dairi, dan Pakpak Bharat. Sementara
"Sumatera Timur", wilayahnya meliputi: Kabupaten/Kota yang akan
tergabung di antaranya adalah: Langkat, Binjai, Medan, Karo, Deli
Sumatera Serdang, Tebing Tinggi, Simalungun, Pematang Siantar, Asahan,
Tanjung Balai, Labuhan Batu.
Dalam konteks ini, Kabupaten Aceh Tenggara yang dibentuk berdasarkan UU
No. 4/1974, diundangkan pada 4 Juni 1974, pada pasal 2 (1) disebut:
"Wilayah Kabupaten Aceh Tenggara meliputi dan terdiri atas
kecamatan-kecamatan: a. Pulonas, b. Bambel, c. Lawe Sigala-gala, d.
Blangkejeren, e. Kutapanjang, f. Rikit. Gaib, g. Lawe Alas, h. Terangon,
i. Babussalam, yang dipisahkan dari Kabupaten Aceh Tengah yang dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1956 juncto Undang-undang Nomor
24 Tahun 1956" yang menghadapi masalah tapal batas, karena Kab. Aceh
Tenggara sebelah Timur berbatas langsung dengan Provinsi Sumatera Utara.
"Tuntut supaya wilayah Kec. Lawe Baleng, Kab. Karo dan bagian-bagian lain wilayah Langkat dikembalikan/dimasukkan ke dalam wilayah Aceh..."
Kalau ketentuan 1 Juli/1956 sebagai dasar hukumnya, ianya batal demi
hukum, sebab tidak mempunyai kepastian hukum. Jika UU No. 24 Tahun 1956
dasar hukumnya, berarti wilayah Provinsi Aceh merambah masuk sebagian
Kab. Karo dan Kab. Langkat wilayah Provinsi Sumatera Utara. "Mengapa MOU
mengutak-atik perbatasan yang sudah ada di Lawe Pakam."
Dengan kata lain, "Jika rujukan yang dipakai perbatasan 1 Juli 1956,
berarti yang dimaksud adalah perbatasan di Kecamatan Lawe Baleng,
Kabupaten Karo. Padahal, perbatasan di sisi timur sekarang adalah Desa
Lawe Pakam, Kecamatan Babul Makmur, Aceh Tenggara. Lawe Baleng sendiri
berarti sungai perbatasan karena sejak dulu batasnya di situ" (Kompas,
23 September 2005).
Sisi lain yang mengecohkan ialah, selalu disebut "juncto Undang-undang
Nomor 24 Tahun 1956" setiap pembentukan Kabupaten di wilayah Provinsi
NAD (Aceh), bukan "juncto 1 Juli 1956." Jadi, apa pasal pihak RI-GAM
menyepakati batasan berdasarkan 1 Juli 1956, tanpa penjelasan secara
rinci. Ini memperkuat tuduhan bahwa MoU Helsinki adalah merk dagang
politik berlabel: "kucing dalam karung".
Dari fakta di atas, membuktikan betapa rancunya peraturan tentang batas
Aceh. Peraturan yang ada masih diperselisihkan (disputed law). Pada hal
semuanya sudah terang. Berdasarkan dokumen resmi--ultimatum-Pemerintah
Hindia Belanda (26 Maret 1873), salah satu dari lima butir ultimatum itu
berbunyi:
"Kembalikan seluruh bagian wilayah Sumatera yang dikuasai oleh ke-Sultanan Aceh".
Wilayah Aceh yang dimaksud, secara konkrit bisa dilihat pada peta Aceh
tahun 1883 dan 1890 yang disusun Inggris. Wilayah Aceh yang diakui oleh
dunia internasional yaitu Belanda, Inggris, Amerika Serikat, Turki,
Portugis, Spanyol dan Jepang, yang diancam supaya diserah kepada
Belanda. Klaim tentang batas Aceh sejalan dengan prinsip hukum
Internasional, yakni: `Status Quo Ante Bellum". Batas Aceh mempunyai
kekuatan hukum yang pasti-pasti, yang tidak perlu diperselisihkan
(Undisputed law).
Tapi sudahlah! Kalau berani, tuntut supaya wilayah Kecamatan Lawe
Baleng, Kabupaten Karo dan bagian-bagian lain wilayah Langkat
dikembalikan/dimasukkan ke dalam wilayah NAD (Aceh), jika memang UU. No.
24/1956 dipakai sebagai dasar hukum menentukan tapal batas Aceh.
Untuk apa berkomentar "pembentukan ALA dan ABAS melanggar poin 1.1.4 Mou Helsinki dan Bab II, pasal 3 ayat a, b, c dan d UU No. 11/2006." Bukankah lebih bertanggung jawab bila memperdebatkan poin 1.1.4 MoU Helsinki yang illegal, ketimbang bicara pemekaran yang semata-mata bukan urusan juru runding GAM.
Barangkali yang akan terjadi, bukan saja tidak berani menuntut wilayah-wilayah yang disebut tadi dikembalikan, tetapi lebih dari itu, setengah dari wilayah Provinsi Aceh akan hilang dengan terwujudnya Provinsi ALA dan ABAS. Ini belum cukup! Provinsi Aceh perlu dimekarkan lebih banyak Provinsi, lagi pun ini urusan dalam negeri Indonesia, buat apa ikut campur.
Untuk apa berkomentar "pembentukan ALA dan ABAS melanggar poin 1.1.4 Mou Helsinki dan Bab II, pasal 3 ayat a, b, c dan d UU No. 11/2006." Bukankah lebih bertanggung jawab bila memperdebatkan poin 1.1.4 MoU Helsinki yang illegal, ketimbang bicara pemekaran yang semata-mata bukan urusan juru runding GAM.
Barangkali yang akan terjadi, bukan saja tidak berani menuntut wilayah-wilayah yang disebut tadi dikembalikan, tetapi lebih dari itu, setengah dari wilayah Provinsi Aceh akan hilang dengan terwujudnya Provinsi ALA dan ABAS. Ini belum cukup! Provinsi Aceh perlu dimekarkan lebih banyak Provinsi, lagi pun ini urusan dalam negeri Indonesia, buat apa ikut campur.
"Ureuëng njang gulam hana geuhon, njang kalon huru-hara" (Orang yang panggul saja tidak merasa berat, yang melihat justru malah huru-hara (susah hati)).
MoU Helsinki di mata orang Aceh persis bak kata pepatah: "Tertawa di
depan umum, menangis di belakang layar. Menang sorak, kampung tergadai."
Kegagalan diplomasi Aceh jangan bertanya kepada si pembual, tapi
bertanyalah kepada juru runding Aceh si penjual. []
*Director Institute for Ethnics Cilivization Research [Tabloid Kontras Edisi Kamis 21/02/2008]
Posting Komentar