Kesetaraan gender, Kartini menuntut keadilan hukum. Ibunya sendiri dipenjarakan oleh anaknya sendiri. Inikah bukti hukum tak pandang bulu di negeri ala kapitalis barat itu. Saat menyidang pejabat, hasilnya tidak memuaskan, koruptor uang rakyat jutaan bahkan milyaran rupiah hukumannya hanya beberapa bulan bahkan dibebaskan.
Nenek Artija (70) menangis histeris di kursi terdakwa saat sang hakim Arie Satio Rantjoko membacakan putusannya mengetuk palu Kamis (11/4/2013). Karena takut di penjara, nenek itu memohon hakim menolongnya, "Pak minta tolong pak, minta tolong," Selama persidangan, ia merasa sangat tertekan dan tengah sakit. Apalagi ia tengah berpuasa. Dia pun pingsan.
Kasus ini berawal pada bulan Oktober 2012. Manisah (40), anak kedua menuduh sang ibu telah mencuri pohon bayur dan bambu yang tumbuh di atas tanah milik Manisah. Bahkan dituntut ganti rugi sebesar 3 juta rupiah lebih.
Manisa bersikukuh tak akan mencabut laporan kepolisian karena tanah seluas 3 ribu meter persegi tempat pohon yang dicuri itu bukanlah tanah warisan, melainkan ia beli dari tetangga Rp 5 juta pada 2002 silam.
Benarkah nenek Artija mencuri. Semula sang Ibu berniat memperbaiki rumahnya yang lapuk menggunakan kayu dari pohon yang ia tebang dari belakang rumah anaknya. Lahan itu menurutnya milik anak kandungnya sendiri yang notabene dia juga punya hak untuk mengambil kayu di tanah tersebut. Ia lalu meminta putranya Ismail dan cucunya Safei untuk memotong pohon tersebut. “Batang pohon tersebut saya yang menanam bersama almarhum suami saya, Sabihah. Pohon itu ditanam di pekarangan samping rumah yang merupakan warisan dari almarhum suami. Makanya saya langsung kaget saat tiba-tiba dilaporkan ke polisi oleh anak kandung kedua saya, Manisah,"
Hubungan Manisah dan Ismail tak harmonis karena berebut hak waris atas tanah tersebut. Ditambah Manisah memiliki bukti akta jual atas tanah itu. Awalnya, Manisah hanya ingin mempolisikan Ismail dan anaknya dan tak bermaksud memidanakan ibu kandung. Namun dalam pemeriksaan, nenek Artija mengaku menyuruh menebang pohon itu, "Saya tidak bermaksud memenjarakan ibu, tapi Ismail dan Mohammad Syafi karena keduanya memang biang keladi dalam kasus penebangan pohon tersebut," jelas Manisa.
Abdul Haris Alfianto, kuasa hukum Artija dalam persidangan mempersoalkan adanya dugaan mark-up dalam jumlah ganti rugi. "Jadi tadi ngotot ada mark up di sini mengenai ganti rugi. Jadi ditulis 3 juta, sedangkan pake kayu bayur sama 10 bambu, itu tidak sampai Rp 600 ribu. Nah ada mark up, apakah dari Manisa atau pihak lain,"
Meski sangat kecewa, namun Artija mengaku masih membuka pintu maaf bagi anaknya.
Journalis Islam Kisah Nyata
Kesetaraan gender, Kartini menuntut keadilan hukum. Ibunya sendiri dipenjarakan oleh anaknya sendiri. Inikah bukti hukum tak pandang bulu di negeri ala kapitalis barat itu. Saat menyidang pejabat, hasilnya tidak memuaskan, koruptor uang rakyat jutaan bahkan milyaran rupiah hukumannya hanya beberapa bulan bahkan dibebaskan.
Nenek Artija (70) menangis histeris di kursi terdakwa saat sang hakim Arie Satio Rantjoko membacakan putusannya mengetuk palu Kamis (11/4/2013). Karena takut di penjara, nenek itu memohon hakim menolongnya, "Pak minta tolong pak, minta tolong," Selama persidangan, ia merasa sangat tertekan dan tengah sakit. Apalagi ia tengah berpuasa. Dia pun pingsan.
Kasus ini berawal pada bulan Oktober 2012. Manisah (40), anak kedua menuduh sang ibu telah mencuri pohon bayur dan bambu yang tumbuh di atas tanah milik Manisah. Bahkan dituntut ganti rugi sebesar 3 juta rupiah lebih.
Manisa bersikukuh tak akan mencabut laporan kepolisian karena tanah seluas 3 ribu meter persegi tempat pohon yang dicuri itu bukanlah tanah warisan, melainkan ia beli dari tetangga Rp 5 juta pada 2002 silam.
Benarkah nenek Artija mencuri. Semula sang Ibu berniat memperbaiki rumahnya yang lapuk menggunakan kayu dari pohon yang ia tebang dari belakang rumah anaknya. Lahan itu menurutnya milik anak kandungnya sendiri yang notabene dia juga punya hak untuk mengambil kayu di tanah tersebut. Ia lalu meminta putranya Ismail dan cucunya Safei untuk memotong pohon tersebut. “Batang pohon tersebut saya yang menanam bersama almarhum suami saya, Sabihah. Pohon itu ditanam di pekarangan samping rumah yang merupakan warisan dari almarhum suami. Makanya saya langsung kaget saat tiba-tiba dilaporkan ke polisi oleh anak kandung kedua saya, Manisah,"
Hubungan Manisah dan Ismail tak harmonis karena berebut hak waris atas tanah tersebut. Ditambah Manisah memiliki bukti akta jual atas tanah itu. Awalnya, Manisah hanya ingin mempolisikan Ismail dan anaknya dan tak bermaksud memidanakan ibu kandung. Namun dalam pemeriksaan, nenek Artija mengaku menyuruh menebang pohon itu, "Saya tidak bermaksud memenjarakan ibu, tapi Ismail dan Mohammad Syafi karena keduanya memang biang keladi dalam kasus penebangan pohon tersebut," jelas Manisa.
Abdul Haris Alfianto, kuasa hukum Artija dalam persidangan mempersoalkan adanya dugaan mark-up dalam jumlah ganti rugi. "Jadi tadi ngotot ada mark up di sini mengenai ganti rugi. Jadi ditulis 3 juta, sedangkan pake kayu bayur sama 10 bambu, itu tidak sampai Rp 600 ribu. Nah ada mark up, apakah dari Manisa atau pihak lain,"
Meski sangat kecewa, namun Artija mengaku masih membuka pintu maaf bagi anaknya.
Journalis Islam Kisah Nyata
Nenek Artija (70) menangis histeris di kursi terdakwa saat sang hakim Arie Satio Rantjoko membacakan putusannya mengetuk palu Kamis (11/4/2013). Karena takut di penjara, nenek itu memohon hakim menolongnya, "Pak minta tolong pak, minta tolong," Selama persidangan, ia merasa sangat tertekan dan tengah sakit. Apalagi ia tengah berpuasa. Dia pun pingsan.
Kasus ini berawal pada bulan Oktober 2012. Manisah (40), anak kedua menuduh sang ibu telah mencuri pohon bayur dan bambu yang tumbuh di atas tanah milik Manisah. Bahkan dituntut ganti rugi sebesar 3 juta rupiah lebih.
Manisa bersikukuh tak akan mencabut laporan kepolisian karena tanah seluas 3 ribu meter persegi tempat pohon yang dicuri itu bukanlah tanah warisan, melainkan ia beli dari tetangga Rp 5 juta pada 2002 silam.
Benarkah nenek Artija mencuri. Semula sang Ibu berniat memperbaiki rumahnya yang lapuk menggunakan kayu dari pohon yang ia tebang dari belakang rumah anaknya. Lahan itu menurutnya milik anak kandungnya sendiri yang notabene dia juga punya hak untuk mengambil kayu di tanah tersebut. Ia lalu meminta putranya Ismail dan cucunya Safei untuk memotong pohon tersebut. “Batang pohon tersebut saya yang menanam bersama almarhum suami saya, Sabihah. Pohon itu ditanam di pekarangan samping rumah yang merupakan warisan dari almarhum suami. Makanya saya langsung kaget saat tiba-tiba dilaporkan ke polisi oleh anak kandung kedua saya, Manisah,"
Hubungan Manisah dan Ismail tak harmonis karena berebut hak waris atas tanah tersebut. Ditambah Manisah memiliki bukti akta jual atas tanah itu. Awalnya, Manisah hanya ingin mempolisikan Ismail dan anaknya dan tak bermaksud memidanakan ibu kandung. Namun dalam pemeriksaan, nenek Artija mengaku menyuruh menebang pohon itu, "Saya tidak bermaksud memenjarakan ibu, tapi Ismail dan Mohammad Syafi karena keduanya memang biang keladi dalam kasus penebangan pohon tersebut," jelas Manisa.
Abdul Haris Alfianto, kuasa hukum Artija dalam persidangan mempersoalkan adanya dugaan mark-up dalam jumlah ganti rugi. "Jadi tadi ngotot ada mark up di sini mengenai ganti rugi. Jadi ditulis 3 juta, sedangkan pake kayu bayur sama 10 bambu, itu tidak sampai Rp 600 ribu. Nah ada mark up, apakah dari Manisa atau pihak lain,"
Meski sangat kecewa, namun Artija mengaku masih membuka pintu maaf bagi anaknya.
Journalis Islam Kisah Nyata
Posting Komentar