Aceh vs Jakarta, Pertarungan antara Demokrasi dan Tirani?


KELIHATANYA  pemerintah pusat di Jakarta hendak membuka-buka lagi luka lama yang menganga yang sesungguhnya belum sembuh, suatu luka hati bangsa Aceh sebagi ekses pengkhianatan Jakarta sebelumnya.
Rakyat Aceh sudah banyak menderita sejak pengngingkaran Sukarno terhadap janjinya kepada rakyat Aceh yang kemudian menimbulkan perlawanan bersenjata (1953-1962) yang banyak menelan korban jiwa dan harta benda. Dalam peperangan itu terjadi berbagai kekerasaan model Kapten Westerling terhadap ratusan waraga penduduk Cot Pulot Jeumpa, Aceh Besar.
Peperangan Aceh-NKRI diakhiri dengan Ikrar lamteh dengan pemebrian amnesti bagi semua pengikut Tgk. Dawud Beureueh, keistimewaan di bidang keagamaan, pendidikan dan adat istiadat. Namun hal itu juga hanya diatas kertas belaka,sehingga wilayah yang besar sekali konstribusinya kepada Negara Kesatuan RI itu memproklamirkan kemerdekaannya yang disponsoiri oleh GAM pimpinan Almarhum Hasan Muhammad di Tiro.
Selama operasi ”Jaring Merah” banyak warga Aceh juga menjadi korban kebiadaban aparat keamanan dan juga GAM, lalu disusuli lagi oleh operasi militer yang dilancarikan Jakarta mulai dari DOM (Daerah Operasi Militer), Darurat militer seiring ofewnsif militer besar-besaran terhadap rakyat Aceh. 
Pembantaian model Westerling terjadi lagi di berbagai tempat di Aceh,salah satunya terhadap Tgk. Bantaqiyah dan puluhan santrinya,yang para pelakunya masih bebas berkeliaran.
Inilah imbalan bagi Aceh yang telah memfasilitasi wilayahnya dan membiayai PDRI sebagai pemerintah Indonesia dipengasingan saat itu, lalu menyumbnagkan pesawat -pesawat terbangnya untuk menghidupi NKRI tersebut. Tetapi setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada NKRI sebagai konsekuwensi KMB, Aceh tetap berdaulat dan merdeka karena tidak dikuasai oleh Belanda dan bukan RIS(BFO).
Sementara yang menjadi NKRI merupakan wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda lalu dijadikan BFO(RIS) yang selanjutnya dalam KMB diserahkan kedaualatannya kepada NKRI.Karenanya Aceh sebagaimana yang dikenal sekarang, bukanlah sebagaimana wilayah-wilayah lainnya yang bekas jajahan Belanda yang kemudian menjadi NKRI sebagai konsekuwensi KMB.
Daalam kontek inilah, maka wajar sekiranya Aceh itu berbeda juga dengan wilayah lainnya karena memang latar belakang historisnya berbeda. Peperangan antara GAM-Indonesia 1975-2005 sudah sangat besar korbannya, karenanya semestinya SBY Jakarta tidak perlu mengungkit-ungkit lagi masa lalu. Apalagi sekiranya hendak membatalkan qanun, bendera, partai lokal yang sudah disahkan oleh mayoritas anggota DPR Aceh.
Jika hal itu memang akhirnya dilakukan, bukankah itu bisa di sebut rejim Jakarta melawan suara rakyat Aceh yang sesungguhnya merupakan konsekuwensi dari MOU Helsinki yang ditandatangani antara GAM-Indonesia 15 Agustus 2005.
Memang katakanlah bendera itu mirip dengan bendera GAM, akan tetapi hal itu merupakan keputusan mayoritas anggota DPR Aceh yang harus dihormati olesh siapapun sebagai refkleksi sistem demokrasi yang sering kita dengar dengan ”suara rakyat suara tuhan”.
Pemerintah semestinya mengurus saja yang lebih utama daripada yang sudah usang tersebut, apalagi yang diragukan setelah semuanya dibubarkan termasuk GAM. Bendera Aborigin juga bisa berkibar berdampingan dengan bendera Australia, sebagaimana juga bendera Hongkong.
Bukankah rakyat Aceh yang mendanai NKRI saat seluruh Hindia Belanda dikuasai oleh belanda. Seharusnya, pusat tak perlu meragukan kesetiaan Aceh kepada bangsa dan negaranya.
Oleh Teungku Nurdin, Kompasiana Reader
atc

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama

LANGUAGE