Seruan Walikota Lhokseumawe
Suaidi Yahya yang melarang perempuan berboncengan sepeda motor
‘ngangkang’, berbuah polemik berkepanjangan. Tak kurang aktivis Jaringan
Islam Liberal (JIL) ikut mengecam kebijakan yang didasari aturan adat
itu.
Aktivis JIL, Mohamad Guntur
Romli bahkan bersuara cukup kasar mengomentari larangan itu. “Bonceng
menyamping tidak baik untuk yang urat syarafnya kejepit. Yang ngeluarin
larangan bonceng ngangkang bagi perempuan, syaraf otaknya kejepit,” ujar
Guntur Romli melalui akun Twitternya @GunturRomli.
Guntur Romli, Aktivis JIL |
Menurut @GunturRomli,
aturan itu hanya sebatas untuk mencari sensasi saja. “Paling-paling
aturan larangan bonceng ngangkang kayak aturan perempuan wajib pakai
rok, hangat-hangat tahi ayam, cuma cari sensasi,” tulis @GunturRomli.
Guntur Romli juga menyindir,
bahwa Walikota Lhokseumawe kesulitan untuk membuat program pemberdayaan
masyarakat, untuk itu dibuat aturan dalam berbusana. “Penciptaan
lapangan kerja bikin program ciptakan lapangan kerja, tingkatkan
kesejahteraan dan pendidikan kan susah, makanya cari yang mudah, yakni
ngurus busana dan posisi duduk,” kicau @GunturRomli.
Diberitakan sebelumnya, Rektor
Institut Sastra Hamzah Fansuri, Thayeb Loh Angen, meminta Polri dan
Kemendagri untuk menegur ‘tukang hujat’ yang tidak ada hubungannya
dengan Lhokseumawe. Menurut Thayeb, aturan soal larangan berboncengan
ngangkang, adalah hak demokrasi Pemerintah Kota Lhokseumawe.
“Pemerintah Kota Lhokseumawe dan
DPRK-nya membuat aturan itu untuk warganya sendiri, bukan untuk wilayah
atau rumah tukang hujat,” ujar Thayeb.
FIMADANI | ATCY
Posting Komentar