Dalam jawabannya, DPR Aceh tetap meminta agar qanun tetap berjalan karena menilai poin-poin klarifikasi tak berdasar.
Wakil Ketua Komisi A DPR Aceh Nurzahri, Selasa (9/4), mengungkapkan, hasil klarifikasi Mendagri sudah dipelajari dan dibahas dengan berbagai pihak, termasuk anggota Komisi A DPR Aceh dan Komisi A DPR kabupaten dan kota se-Aceh.
Dari hasil pembahasan tersebut, poin-poin klarifikasi yang terkait pertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah disepakati tidak tepat.
”PP Nomor 77 Tahun 2007 ini tanpa konsultasi dengan Pemerintah Aceh. Padahal, pada Pasal 8 Ayat (3) Undang-Undang Pemerintahan Aceh secara tegas dikatakan, setiap produk perundangan yang dibuat Mendagri terkait Aceh harus dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur Aceh,” katanya.
Mengenai klarifikasi Mendagri bahwa Qanun Nomor 3 Tahun 2013 bertentangan dengan Syariat Islam, menurut Nurzahri, juga tak berdasar. Pasalnya, Indonesia bukanlah negara Islam sehingga tak memiliki dasar untuk menilai secara syariat terkait qanun tersebut.
Selain itu, penggunaan lambang binatang dalam lambang Aceh juga bukan hal yang pertama sebab lambang negara Indonesia pun berupa binatang, yaitu garuda.
Terkait penggunaan azan dalam pengibaran bendera Aceh, dia menilai hal itu juga tak bisa dipersalahkan.
Azan tak hanya digunakan saat akan menjelang shalat atau panggilan waktu shalat seperti yang dinyatakan dalam klarifikasi Mendagri, tetapi dalam praktiknya juga umum dipakai saat menyambut kelahiran bayi, saat kebakaran, atau saat musibah seperti saat gempa bumi.
Terkait hal ini, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Hukum, Politik, dan Hubungan Antarlembaga Reydonnyzar Moenek mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan berdialog dengan Gubernur Aceh dan sejumlah tokoh terkait qanun.
Kemendagri telah meminta Pemerintah Aceh mempelajari dan mengkaji qanun itu selama 15 hari. (HAN/KOMPAS)
Posting Komentar