Pemerintah Aceh masih 'keukeuh' untuk tidak mengubah lambang dan bendera wilayahnya.
Setelah melakukan pertemuan sekitar empat jam dengan pihak pemerintah pusat, Gubernur Aceh, Zaini Abdullah tetap menyatakan bahwa qanun lambang dan bendera Aceh disepakati secara aklamasi oleh seluruh partai yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
"Saya belum bisa pastikan akan mengubah qanun atau tidak, akan dibicarakan dulu dengan DPRA," kata Zaini di Jakarta, Sabtu, 13 April 2013.
DPR Aceh juga setuju untuk menghilangkan syarat harus dikumandangkan adzan saat menaikkan bendera.
"Kumandang azan Itu memang sifatnya hanya sementara. Dan itu sudah kita sebutkan dalam qanun tentang bendera dan lambang Aceh. Jadi sudah tidak ada khilafiah soal itu, kita sudah jelaskan dalam pertemuan kemarin," kata Abdullah Saleh dilansir Atjehpost, Minggu, 14 April 2013.
Seorang pria mengumandangkan azan saat penaikan bendera Aceh di Tanah Pasir, Aceh Utara. /ATJEHPOSTcom |
Menurutnya, suara azan digunakan untuk mengiringi pengibaran bendera lantaran azan tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan masyarakat Aceh.
"Azan di Aceh itu kan sudah menjadi bagian dari hidup kita. Ada anak baru lahir kita azan, orang mau naik haji diiringi suara azan. Itu kan kalimat-kalimat agung yang sifatnya positif," kata Abdullah Saleh.
Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Politik, Hukum dan Hubungan Antar Lembaga Reydonnizar Moenek membenarkan bahwa belum ada titik temu untuk mendesain ulang lambang dan bendera Aceh.
Moenoek mengatakan, ada dua poin yang disepakati dalam pertemuan antara Pemerintah Aceh dengan tim Kemendagri di Jakarta.
Kedua poin itu adalah menghapus MoU Helsinki sebagai konsideran qanun, sebab sudah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan persetujuan untuk tidak menggunakan iringan kumandang azan saat pengibaran bendera. | tempo/atjehpost
Posting Komentar