Jakarta - Yakup Ginting, salah
satu calon hakim agung yang tengah menjalani uji kepatutan dan
kelayakan, menyatakan setuju adanya pelarangan duduk mengangkang di
Aceh. "Secara sosiologi bisa diterima sebagai kebinekaan," ujarnya,
Selasa, 22 Januari 2013.
Menurutnya, peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Aceh itu adalah bagian dari konsekuensi otonomi daerah.
"Sesuai otonomi, setiap daerah diberikan kewenangan," kata hakim yang bertugas di Pengadilan Tinggi Makassar itu.
Karena itu, ia menambahkan,
persoalan itu bisa diselesaikan dengan melakukan diskusi antara pihak
berwenang dan pakar. "Namun tetap berpedoman kepada undang-undang,"
ucapnya.
Dukungan yang sama juga
disampaikan Imam Besar masjid Istiqlal (11/1) lalu, Menurutnya, Perda
tersebut merupakan bentuk implementasi syariat Islam yang harus
dihormati dan dijamin oleh UUD.
"Kenapa dipermasalahkan. Aturan
ini untuk menjamin kebebasan beragama dan melindungi tradisi masyarakat
Aceh, boleh jadi dalam penilaian masyarakat di sana wanita tidak pantas
duduk mengangkang saat berkendara, ini harus dihormati," tambahnya.
Pemerintah Kota Lhokseumawe
secara resmi melarang perempuan untuk duduk mengangkang kala membonceng
di sepeda motor. Setetah tiga bulan, pemberlakuan larangan itu
dievaluasi sebelum disahkan menjadi peraturan wali kota.
Aturan tersebut merupakan bagian
perintah Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh,
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) dan
Qanun (Perda) Nomor 14 tahun 2003 tentang Syariah Islam di Aceh.
Posting Komentar