JAKARTA - Bendera, lambang, himne (lagu pujaan), dan Lembaga Wali Nanggroe (LWN) bukanlah milik satu entitas atau kelompok saja, melainkan representasi dari peradaban seluruh Aceh secara utuh. Dengan demikian, tidak bisa diklaim bahwa simbol-simbol tersebut milik kelompok tertentu saja.
Mantan ketua juru runding Pemerintah Indonesia dalam perundingan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Dr Hamid Awaluddin mengemukakan hal itu dalam Pertemuan Konsultasi Membahas Rancangan Qanun (Raqan) Bendera dan Lambang Aceh, Senin (17/12) malam di Jakarta.
Pertemuan itu diprakarsai Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Pemerintah Aceh, dipandu oleh Abdullah Saleh SH dari Fraksi Partai Aceh.
“Persoalan bendera, lambang, himne, dan Lembaga Wali Nanggroe merupakan bentuk peradaban Aceh secara total. Dibuat untuk menghindari persepsi bahwa itu hanya milik entitas tertentu di Aceh,” kata Hamid saat menceritakan proses perundingan di Helsinki.
Soal bendera, lambang, himne, dan Wali Nanggroe, menurut Hamid, tidak terlalu diperdebatkan dalam perundingan itu dan baru dibahas pada putaran ketiga.
Ia mengatakan bahwa isu bendera, lambang, dan himne paralel dengan isu Wali Nanggroe. Gubernur Zaini Abdullah mengatakan, Raqan Lambang dan Bendera itu merupakan perintah dari UUPA yang harus dilaksanakan.
Mantan ketua pansus RUUPA, Ferry Mursyidan Baldan menyebutkan tidak ada yang aneh dari regulasi tentang bendera, lambang, dan wali nanggroe di Aceh. “Ini sudah disebutkan dalam UUPA dan menjadi kewenangan Pemerintah Aceh dan DPRA membuatnya dalam bentuk qanun.” Hanya saja Ferry mengingatkan agar bendera Aceh dan lambang memuat spirit persatuan dan kesatuan Aceh.
“Bendera sebagai sebuah simbol barangkali secara politik memberi identifikasi mengingat benderanya sama dengan Partai Aceh,” ingat Ferry Mursyidan. Ia menyarankan untuk mengubah desain bendera yang kini diajukan DPRA, sehingga mencerminkan kebersamaan.
Fachry Ali, pengamat politik mengkritisi bunyi draf Raqan Pasal 7 yang menerangkan tentang makna warna dan simbol-simbol bendera, terutama pada huruf (c) berbunyi;
“Garis warna hitam, melambangkan dukacita perjuangan rakyat Aceh.” Menurut Fachry itu tidak sesuai lagi untuk abad 21 dan abad 22. “Harusnya ditambahkan soal kecerdasan dan perdamaian,” saran Fachry.
“Garis warna hitam, melambangkan dukacita perjuangan rakyat Aceh.” Menurut Fachry itu tidak sesuai lagi untuk abad 21 dan abad 22. “Harusnya ditambahkan soal kecerdasan dan perdamaian,” saran Fachry.
Mantan Wapres Jusuf Kala (JK) menyarankan perubahan desain bendera Aceh, sehingga tidak mirip dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Mungkin bisa diambil dari bendera Kerajaan Aceh abad ke-15 yang ada gambar pedangnya,” kata JK.
JK sependapat bahwa bendera dan lambang Aceh sesuai dengan konsideran rancangan qanun tersebut, yaitu sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi Aceh yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan, serta manifestasi dari kebudayaan yang berakar pada sejarah, keberagaman budaya dan kesamaan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Aceh.
“Kalau dipaksakan bendera GAM, tentu salah satu pihak, apakah itu TNI atau kelompok masyarakat lain di Aceh, apakah bisa terima?” tanya JK.
Pandangan senada diutarakan Prof Yusril Ihza Mahendra. Mantan Menkumham dan mantan Mensesneg yang ikut membahas UUPA di DPR mewakili pemerintah, ini mengatakan, kalau bendera GAM dipasang, maka akan timbul pertanyaan dan perdebatan politik berkepanjangan lagi. “Harapan saya jangan ada lagi hal-hal yang bisa menimbulkan polemik baru di masayarakat,” kata Yusril Ihza.
Ketua Forbes Nasir Djamil setuju bahwa bendera dan lambang Aceh harus mencerminkan kebersamaan di Aceh, “satu untuk semua, semua untuk satu.”
Dalam pertemuan itu hanya Ketua Fopkra, Fazloen Hasan yang bersuara beda dan mengatakan, “Kenapa haram bendera GAM dijadikan bendera Aceh? Kalau memang haram, berarti orang-orang GAM yang sekarang jadi Gubernur dan Ketua DPRA juga haram,” kata Fazloen.
Pengamat politik J Kristiadi mengatakan, sebaiknya perdebatan tentang bendera dan lambang lebih berorientasi ke depan. “Jangan sampai perdebatan ini memunculkan kembali trauma-trauma kepahitan masa lalu,” katanya.
Bertentangan 10 Poin
Forum konsultasi untuk membahas Rancangan Qanun (Raqan) Bendera dan Lambang Aceh pada Senin (17/12) malam di Jakarta, berlangsung tanpa kehadiran Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi.
Tapi sebetulnya, Pemerintah Aceh bersama Komisi A DPRA sudah mengundang Mendagri. Namun, yang diutus Mendagri untuk hadir ke acara penting itu adalah Dirjen Otonomi Daerah (Otda), Prof Djohermansyah Djohan.
Menurut Djoehermansyah, Kemendagri menemukan paling tidak sepuluh poin potensi dari Draf Raqan Lambang dan Bendera Aceh itu yang bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun, Dirjen Otda tidak membeberkan potensi-potensi pertentangan tersebut.
Bicara atas nama Mendagri, Dirjen Otda hanya menyatakan agar dipertimbangkan kembali lambang dan bendera tersebut, sehingga sesuai dengan harapan perdamaian dan peradaban Aceh.
Rakyat Umumnya Sependapat
Di awal pertemuan, Ketua DPRA Hasbi Abdullah mengatakan bahwa konsultasi tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan masukan dalam rangka penyempurnaan Raqan Lambang dan Bendera yang sedang dibahas DPRA.
Ketua Komisi A Adnan Beuransah menjelaskan kronologi pembahasan yang sudah dilakukan pihaknya dengan sejumlah elemen masyarakat di Aceh dalam rapat dengar pendapat umum. Draf raqan tersebut telah pula dipublikasi di media cetak di Aceh. “Umumnya rakyat Aceh menyatakan sependapat dengan draf rancangan qanun yang telah disusun tersebut,” klaim Adnan.
Jempol untuk Bendera Pedang
Di pengujung pertemuan, sesaat setelah Jusuf Kalla (JK) mengakhiri pandangannya, lalu beredar lembaran kertas yang memuat bendera warna merah menyala. Bendera tersebut menerakan gambar bulan sabit dan bintang, serta sebuah pedang yang melengkung di bagian bawah. Komunitas Aceh menyebutnya ‘alam peudeung.
Tidak jelas apakah itu bendera Kerajaan Aceh abad ke-15 seperti yang sebelumnya sempat disinggung JK dalam pidatonya.
Gubernur Aceh Zaini Abdullah, Wakil Ketua MPR Farhan Hamid, Ketua Tim Pemantau Otsus Aceh Papua, Prio Budi Santoso didampingi sejumlah peserta pertemuan lainnya berpose bersama dengan bendera “bulan sabit, bintang, pedang” tersebut sambil memperlihatkan jempol sebagai simbol “oke”.
Posting Komentar