Masih segar dalam ingatan kita berita tentang aktris Asmirandah yang murtad (pindah agama – red.) mengikuti jejak pasangannya yang juga artis, Jonas Rivanno. Kemurtadan Asmirandah diketahui publik ketika beredar foto dirinya dan Jonas sedang melakukan doa kebaktian bersama di satu gereja. Sebelumnya, Jonas sendiri sempat menuai kecaman umat Islam karena mengaku berstatus muallaf (memeluk Islam) saat menikahi Asmirandah, tapi sesudah itu berbalik ke agama lamanya. Kasus tersebut menunjukkan sekali lagi, bahwa modus pemurtadan melalui perkawinan memang menggejala.
Di sisi lain, arus pemurtadan yang lebih besar terjadi di lembaga pendidikan dan telah berlangsung lama. Sejarah mencatat, di antara hasilnya adalah Albertus Soegijapranata atau Soegija. Meski memiliki latar belakang keluarga kiai (kakeknya bernama Kiai Soepa, cukup terkenal di Yogyakarta), Soegija yang awalnya muslim taat, berubah menjadi Katolik setelah sekolah di Kolese Xaverius Muntilan, bahkan kemudian menjadi pelaku utama dalam era suburnya proyek missionaris di Indonesia menjelang pertengahan abad ke-20.
Sampai kini, sekolah milik non-muslim tampaknya memang dirancang kondusif untuk memurtadkan muslim. Tidak heran jika Februari tahun lalu, 6 sekolah milik Katolik di Blitar (antara lain: SD Yos Sudarso, SMP Yos Sudarso, SMP Yohanes Gabriel, SMK Santo Yusuf dan SMA Katolik DIPONEGORO – masya Allah, nama mujahid ini dipakai untuk menamai sekolah non-muslim? – red.), menolak menyediakan guru Agama Islam. Padahal, hampir 60% muridnya beragama Islam. “Para pendahulu kami mendirikan sekolah itu memang untuk anak-anak Katolik,” kilah Koordinator Staf Yayasan Yoga Blitar, Yohanes (Koran Tempo, 4 Februari 2013). Sikap ini mengingatkan kita pada kegigihan mereka saat menolak Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU-Sisdiknas) pada pertengahan 2003 yang lampau. Penyediaan guru seagama dengan murid, tentu akan menghalangi kelancaran misi pemurtadan.
Pemurtadan Sistematis
Terdapat sangat banyak korban pemurtadan dilatari oleh kesalahan orangtua mereka menyekolahkan atau menguliahkan anaknya di sekolah atau di kampus milik non-muslim. Padahal, di institusi umum atau negeri yang muslimnya lebih banyak saja, kasus pemurtadan tidak sedikit ditemui.
Dari kesaksian banyak korban yang insyaf diketahui, bahwa pemurtadan dilakukan secara sistematis (bertahap; berkelanjutan), termasuk perlakukan secara estafet - dari kelompok pelaku yang satu ke kelompok pelaku yang lain; dari satu lingkungan ke lingkungan yang lain. Pada modus yang sempurna atau lengkap, pemurtadan berlangsung sejak di bangku sekolah sampai di lingkungan kerja dan lingkungan sosial.
Isolasi
Sejak di bangku sekolah atau kuliah, pergaulan si calon korban mulai ‘dilingkari’ atau diisolasi, sampai tanpa sadar nyaris semua teman dekatnya adalah non-muslim. Secara gradual, dunia si korban kian senyap dari muslim, seiring dengan menguatnya lingkaran non-muslim. Pada saat yang sama dengan tahap ini, kepada korban secara terus-menerus diperdengarkan dan diperlihatkan hasil-hasil pencitraan buruk mereka terhadap muslim dan Islam untuk menghancurkan akidah dan kebanggaannya sebagai muslim.
Pencitraan jelek tersebut dapat melalui tontonan - semisal film atau berita yang mendiskreditkan Islam; melalui percakapan atau ghibah yang memfitnah dan merendahkan muslim dan Islam; bahkan melalui perancangan sandiwara yang rapi. Melalui treatment-treatment tersebut mereka juga berusaha agar tidak ada komunikasi yang baik di antara sesama muslim. Hal-hal yang tidak mungkin dilakukan dalam adab dakwah islam sangat terbuka untuk mereka lakukan, seperti: mengadu domba sesama muslim, memfitnah, melakukan tekanan, mengombang-ambing dan lain-lain yang cenderung merusak karakter si korban.
Ketergantungan Mental dan Ekonomi
Isolasi akan menciptakan ketergantungan mental si korban pada lingkungannya. Ketergantungan itu akan kian menguat manakala si korban juga dibuat bergantung secara ekonomi, yakni dengan membantunya masuk ke lingkungan kerja non-muslim pasca si korban lulus studi. Tampaknya ini budi baik, padahal ini setingan juga untuk memudahkan mereka secara berkesinambungan, estafet dan sinergis ‘menggarap’ si korban. Semua kebutuhan dan aktivitas korban – kemana bersenang, kemana curhat dan menyandarkan kepercayaan, buku dan media massa apa yang dibaca – semua tidak lepas dari kontrol dan desain mereka. Bahkan soal jodoh pun, non-muslim akan berusaha menyiapkan siapa yang akan di dekatkan padanya, dengan ‘tugas’ menjalin hubungan yang bisa sangat jauh demi ‘mengikat’ si korban.
Mereka Penjahatnya, Mereka Juga Pahlawannya
Sampailah pada satu titik klimaks, mereka tinggal menuai hasil: si korban masuk agama mereka atau tidak. Dalam kondisi terisolasi yang parah, si korban biasanya tidak bisa keluar dari lingkungan mereka dan merasa tidak punya pilihan selain pindah agama. Kepada korban yang melawan, bisa saja diancam aibnya akan disebarluaskan (padahal non-muslim itu sendiri yang menjerumuskan si korban pada aib tertentu dan menciptakan rasa malu yang dalam dan rasa berdosa yang tak terperi atau tidak terampuni, agar yang bersangkutan putus asa dari rahmat Allah SWT).
Lebih dari dari itu, jika tidak mau murtad, si korban dapat dianiaya, bahkan dibunuh – entah karakternya saja, entah sekalian jiwanya. Situasi demikian ini sangat efektif, terutama terhadap perempuan (muslimah). Dalam keadaan lemah, akan ada orang lain dalam kelompok pemurtad itu yang memainkan peran sebagai pahlawan, yang melipur lara dalam rangka membujuk korban berpindah akidah. Jadi, penjahatnya mereka, jagoannya mereka juga.
Dipelihara Sebagai Agen Perusak atau Alat Pencitraan Firma Non-Muslim
Tapi pindah agama tidak selalu menjadi tujuan akhir mereka. Dalam kondisi mental-spiritual si korban sudah hancur-hancuran – meskipun status formal di KTP nya tetap Islam, ia bisa saja dibiarkan atau dipelihara untuk menjadi agen perusak di kalangan muslim.
Pada kasus lain ia bisa sekadar tujuan antara untuk ‘melicinkan jalan’ menggarap target sebenarnya: anak-anak si korban. Kehancuran akidah yang ‘melicinkan jalan’ mereka itu, ditandai dengan disfungsi al-furqon pada diri korban, yakni kehilangan fungsi untuk membedakan halal-haram, mulia-hina, pahala-dosa, syirik-tauhid, haq-bathil, adil-zhalim dan kekacauan dalam menyandarkan persaudaraan. Di antara ciri permukaan difungsi al-furqon adalah: menggampangkan perbuatan dosa, melalaikan sholat, memelihara anjing, tidak berhati-hati dalam makan-minum (tidak peduli halal-haram), gemar berdusta, cenderung hedonis, gemar memutuskan silaturohim dengan sesama muslim, bercurhat-berpeluk-bertangisan dengan non-muslim, dsb.
Ada lagi katagori lain yang dipelihara, adalah mereka yang menjalani islam sekadar formalitas-reduktif, sebagai sekadar ritual. Mereka yang di katagori ini cenderung rajin beribadah, tetapi membunyikan ayat-ayat tak ubahnya dukun yang membaca mantra-mantra, atau orang mabuk yang meracau tanpa kesadaran tentang makna dan tugas-tugas di dalamnya. Mereka tidak peka, bahkan tidak mau tahu, masalah umat. Mereka dipelihara sebab menguntungkan – nama dan performanya ‘dijual’ untuk pencitraan dan ‘tameng’ lembaga-lembaga laba milik non-muslim yang mempekerjakan mereka. Adakalanya nama mereka sangat Islami, bahkan nama-nama nabi: Ahmad, Muhammad, Sholeh, Yusuf, Yunus, Zulkifli, Ismail, dan lain sebagainya.
Hanya mereka yang mempunyai semangat belajar yang tinggi – yang dari itu pengetahuan Islamnya kian membaik – yang bisa mengalami pergulatan batin sehingga sanggup memutuskan untuk berlepas diri atau hijrah dari ketergantungan terhadap non-muslim.
Tetapi sebagian lagi memilih bertahan karena takut miskin; membutakan mata, membisukan mulut dan menulikan telinga dari sangat banyak peringatan Allah dalam al-Qur’an, khususnya mengait ‘al wala wal bara’ yang menjadi salah satu penanda ketauhidan. Bukannya merintis visi untuk hijrah, kadang malah bersikap paradoks: menyatakan diri netral atau toleran (tentu tanpa dasar pengetahuan) tetapi seraya menetek dengan rakus pada lembaga non-muslim tempatnya bekerja.
Di sisi lain, arus pemurtadan yang lebih besar terjadi di lembaga pendidikan dan telah berlangsung lama. Sejarah mencatat, di antara hasilnya adalah Albertus Soegijapranata atau Soegija. Meski memiliki latar belakang keluarga kiai (kakeknya bernama Kiai Soepa, cukup terkenal di Yogyakarta), Soegija yang awalnya muslim taat, berubah menjadi Katolik setelah sekolah di Kolese Xaverius Muntilan, bahkan kemudian menjadi pelaku utama dalam era suburnya proyek missionaris di Indonesia menjelang pertengahan abad ke-20.
Sampai kini, sekolah milik non-muslim tampaknya memang dirancang kondusif untuk memurtadkan muslim. Tidak heran jika Februari tahun lalu, 6 sekolah milik Katolik di Blitar (antara lain: SD Yos Sudarso, SMP Yos Sudarso, SMP Yohanes Gabriel, SMK Santo Yusuf dan SMA Katolik DIPONEGORO – masya Allah, nama mujahid ini dipakai untuk menamai sekolah non-muslim? – red.), menolak menyediakan guru Agama Islam. Padahal, hampir 60% muridnya beragama Islam. “Para pendahulu kami mendirikan sekolah itu memang untuk anak-anak Katolik,” kilah Koordinator Staf Yayasan Yoga Blitar, Yohanes (Koran Tempo, 4 Februari 2013). Sikap ini mengingatkan kita pada kegigihan mereka saat menolak Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU-Sisdiknas) pada pertengahan 2003 yang lampau. Penyediaan guru seagama dengan murid, tentu akan menghalangi kelancaran misi pemurtadan.
Pemurtadan Sistematis
Terdapat sangat banyak korban pemurtadan dilatari oleh kesalahan orangtua mereka menyekolahkan atau menguliahkan anaknya di sekolah atau di kampus milik non-muslim. Padahal, di institusi umum atau negeri yang muslimnya lebih banyak saja, kasus pemurtadan tidak sedikit ditemui.
Dari kesaksian banyak korban yang insyaf diketahui, bahwa pemurtadan dilakukan secara sistematis (bertahap; berkelanjutan), termasuk perlakukan secara estafet - dari kelompok pelaku yang satu ke kelompok pelaku yang lain; dari satu lingkungan ke lingkungan yang lain. Pada modus yang sempurna atau lengkap, pemurtadan berlangsung sejak di bangku sekolah sampai di lingkungan kerja dan lingkungan sosial.
Isolasi
Sejak di bangku sekolah atau kuliah, pergaulan si calon korban mulai ‘dilingkari’ atau diisolasi, sampai tanpa sadar nyaris semua teman dekatnya adalah non-muslim. Secara gradual, dunia si korban kian senyap dari muslim, seiring dengan menguatnya lingkaran non-muslim. Pada saat yang sama dengan tahap ini, kepada korban secara terus-menerus diperdengarkan dan diperlihatkan hasil-hasil pencitraan buruk mereka terhadap muslim dan Islam untuk menghancurkan akidah dan kebanggaannya sebagai muslim.
Pencitraan jelek tersebut dapat melalui tontonan - semisal film atau berita yang mendiskreditkan Islam; melalui percakapan atau ghibah yang memfitnah dan merendahkan muslim dan Islam; bahkan melalui perancangan sandiwara yang rapi. Melalui treatment-treatment tersebut mereka juga berusaha agar tidak ada komunikasi yang baik di antara sesama muslim. Hal-hal yang tidak mungkin dilakukan dalam adab dakwah islam sangat terbuka untuk mereka lakukan, seperti: mengadu domba sesama muslim, memfitnah, melakukan tekanan, mengombang-ambing dan lain-lain yang cenderung merusak karakter si korban.
Ketergantungan Mental dan Ekonomi
Isolasi akan menciptakan ketergantungan mental si korban pada lingkungannya. Ketergantungan itu akan kian menguat manakala si korban juga dibuat bergantung secara ekonomi, yakni dengan membantunya masuk ke lingkungan kerja non-muslim pasca si korban lulus studi. Tampaknya ini budi baik, padahal ini setingan juga untuk memudahkan mereka secara berkesinambungan, estafet dan sinergis ‘menggarap’ si korban. Semua kebutuhan dan aktivitas korban – kemana bersenang, kemana curhat dan menyandarkan kepercayaan, buku dan media massa apa yang dibaca – semua tidak lepas dari kontrol dan desain mereka. Bahkan soal jodoh pun, non-muslim akan berusaha menyiapkan siapa yang akan di dekatkan padanya, dengan ‘tugas’ menjalin hubungan yang bisa sangat jauh demi ‘mengikat’ si korban.
Mereka Penjahatnya, Mereka Juga Pahlawannya
Sampailah pada satu titik klimaks, mereka tinggal menuai hasil: si korban masuk agama mereka atau tidak. Dalam kondisi terisolasi yang parah, si korban biasanya tidak bisa keluar dari lingkungan mereka dan merasa tidak punya pilihan selain pindah agama. Kepada korban yang melawan, bisa saja diancam aibnya akan disebarluaskan (padahal non-muslim itu sendiri yang menjerumuskan si korban pada aib tertentu dan menciptakan rasa malu yang dalam dan rasa berdosa yang tak terperi atau tidak terampuni, agar yang bersangkutan putus asa dari rahmat Allah SWT).
Lebih dari dari itu, jika tidak mau murtad, si korban dapat dianiaya, bahkan dibunuh – entah karakternya saja, entah sekalian jiwanya. Situasi demikian ini sangat efektif, terutama terhadap perempuan (muslimah). Dalam keadaan lemah, akan ada orang lain dalam kelompok pemurtad itu yang memainkan peran sebagai pahlawan, yang melipur lara dalam rangka membujuk korban berpindah akidah. Jadi, penjahatnya mereka, jagoannya mereka juga.
Dipelihara Sebagai Agen Perusak atau Alat Pencitraan Firma Non-Muslim
Tapi pindah agama tidak selalu menjadi tujuan akhir mereka. Dalam kondisi mental-spiritual si korban sudah hancur-hancuran – meskipun status formal di KTP nya tetap Islam, ia bisa saja dibiarkan atau dipelihara untuk menjadi agen perusak di kalangan muslim.
Pada kasus lain ia bisa sekadar tujuan antara untuk ‘melicinkan jalan’ menggarap target sebenarnya: anak-anak si korban. Kehancuran akidah yang ‘melicinkan jalan’ mereka itu, ditandai dengan disfungsi al-furqon pada diri korban, yakni kehilangan fungsi untuk membedakan halal-haram, mulia-hina, pahala-dosa, syirik-tauhid, haq-bathil, adil-zhalim dan kekacauan dalam menyandarkan persaudaraan. Di antara ciri permukaan difungsi al-furqon adalah: menggampangkan perbuatan dosa, melalaikan sholat, memelihara anjing, tidak berhati-hati dalam makan-minum (tidak peduli halal-haram), gemar berdusta, cenderung hedonis, gemar memutuskan silaturohim dengan sesama muslim, bercurhat-berpeluk-bertangisan dengan non-muslim, dsb.
Ada lagi katagori lain yang dipelihara, adalah mereka yang menjalani islam sekadar formalitas-reduktif, sebagai sekadar ritual. Mereka yang di katagori ini cenderung rajin beribadah, tetapi membunyikan ayat-ayat tak ubahnya dukun yang membaca mantra-mantra, atau orang mabuk yang meracau tanpa kesadaran tentang makna dan tugas-tugas di dalamnya. Mereka tidak peka, bahkan tidak mau tahu, masalah umat. Mereka dipelihara sebab menguntungkan – nama dan performanya ‘dijual’ untuk pencitraan dan ‘tameng’ lembaga-lembaga laba milik non-muslim yang mempekerjakan mereka. Adakalanya nama mereka sangat Islami, bahkan nama-nama nabi: Ahmad, Muhammad, Sholeh, Yusuf, Yunus, Zulkifli, Ismail, dan lain sebagainya.
Hanya mereka yang mempunyai semangat belajar yang tinggi – yang dari itu pengetahuan Islamnya kian membaik – yang bisa mengalami pergulatan batin sehingga sanggup memutuskan untuk berlepas diri atau hijrah dari ketergantungan terhadap non-muslim.
Tetapi sebagian lagi memilih bertahan karena takut miskin; membutakan mata, membisukan mulut dan menulikan telinga dari sangat banyak peringatan Allah dalam al-Qur’an, khususnya mengait ‘al wala wal bara’ yang menjadi salah satu penanda ketauhidan. Bukannya merintis visi untuk hijrah, kadang malah bersikap paradoks: menyatakan diri netral atau toleran (tentu tanpa dasar pengetahuan) tetapi seraya menetek dengan rakus pada lembaga non-muslim tempatnya bekerja.
Tiadalah ia peduli lembaga itu memiliki rekam jejak yang nyata-nyata sering mendiskreditkan Islam dan Muslim, dan laten melakukan itu (ini kontekstual terutama pada muslim yang bekerja di lembaga penerbitan pers milik non-muslim).
Demikianlah, semoga tulisan singkat ini bermanfaat dan menjadi cermin, adakah kita atau orang terdekat kita sedang berada dalam arus sebagian atau seluruh modus yang diutarakan di atas, sehingga kita dapat menyikapinya dengan lebih cepat dan tepat.
Demikianlah, semoga tulisan singkat ini bermanfaat dan menjadi cermin, adakah kita atau orang terdekat kita sedang berada dalam arus sebagian atau seluruh modus yang diutarakan di atas, sehingga kita dapat menyikapinya dengan lebih cepat dan tepat.
Posting Komentar