MENGEJUTKAN! Luar Biasa! Kata-kata seperti ini muncul sesaat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan status tersangka kepada Presiden PKS (saat itu), Luthfi Hasan Ishaaq. Tak selang berapa jam setelah itu, Luthfi dicokok tim penyidik KPK di saat dirinya sedang di ruang media yang tengah memberikan keterangan pers atas tudingan KPK bahwa ia diduga terlibat kasus suap impor sapi.
Mengejutkan publik karena dari proses penetapan status tersangka hingga penangkapan Luthfi Hasan kurang dari 24 jam. Selain itu, oleh KPK penetapan status tersangka itu dilakukan setelah pengembangan operasi tangkap tangan (OTT) sehari sebelumnya. Dalam OTT itu, petugas KPK menangkap seorang seorang yang ditengarai sebagai kurir dan dua direktur perusahaan pengimpor daging sapi. Ketiganya adalah Ahmad Fathanah, Arya Effendi, dan Juard Effendi.
Ahmad Fathanah ditangkap di kamar sebuah hotel berbintang di Jakarta pada 29 Januari malam, bersama seorang perempuan yang berstatus mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta Selatan. Sedangkan Arya Effendi dan Juard Effendi digerebek di kediamannya. Aparat KPK mendapatkan barang bukti uang senilai Rp 1 miliar, dalam bentuk pecahan Rp 100 ribu, yang diketemukan di jok belakang mobil Fathanah. Uang ini diyakini KPK sebagai pelicin alias suap oleh kedua orang perusahaan impor daging itu kepada Fathanah, yang diindikasikan sebagai “orang dekat” Luthfi Hasan demi mendapatkan kuota impor sapi pada Kementan.
Dengan alasan memiliki bukti adanya “komunikasi” antara Fathanah dan Luthfi Hasan sebelum ia ditangkap di hotel itu, anggota Komisi I DPR dan juga Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut, maka petugas KPK menjemput paksa Luthfi Hasan di kantor DPP PKS, Rabu (30/1/2013). Mengejutkan!
Peristiwa itu jelas mengejutkan para pengurus dan kader PKS. Publik juga dibuat terperangah dengan pemberitaan yang intens oleh seluruh media massa. Nama PKS jadi perbincangan paling hangat dalam ruang publik. Kalangan internal PKS terheran-heran dengan cara kerja KPK yang dinilai “tak lazim” itu. Sementara sebagian masyarakat terpengaruh dengan berita maupun gambar yang disajikan media, sehingga menganggap PKS “tak beda dengan parpol lainnya” dalam hal menggangsir uang negara.
Logika dan cara berpikir para pengurus pusat PKS dalam mencermati kasus tersebut menarik untuk kita simak. Diantaranya, pertama, baru pertama kalinya sejak KPK dibentuk, seorang pejabat publik yang disangka “menyetujui” adanya suap langsung ditetapkan sebagai tersangka, tanpa diperiksa terlebih dahulu.
Alasan kedua, dari operasi tangkap tangan itu, posisi Luthfi Hasan tidak dalam sedang menerima suap. KPK hanya mengaku memiliki bukti, yang tidak boleh diungkapkan kecuali di ruang sidang nanti.
Alasan ketiga, proses dari penetapan menjadi tersangka hingga penjemputan paksa Luthfi Hasan dilakukan dalam tempo yang sangat-sangat singkat. Hal ini sangat berbeda secara mencolok jika dibandingkan dengan kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dimana petugas KPK pada 22 Oktober 2011 berhasil menangkap basah pejabat teras di kementerian itu dan seorang kurir pemberi suap yang sudah menyiapkan dana sebesar Rp 1,5 miliar dan diduga demi melancarkan pencairan dana percepatan pembangunan infrastruktur proye transmigrasi di 19 kabupaten/kota di Indonesia.
Dalam pemeriksaan lanjutan hingga ke persidangan, nama Menakertrans yang juga Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar kerap disebut-sebut sebagai pejabat yang ditengarai akan menerima dana tersebut, tapi pada akhirnya Muhaimin lepas dari jeratan hukum.
Kasus yang hampir sama modusnya terjadi pada upaya suap yang terjadi di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang dilakukan oleh Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam dengan pengusaha properti yang mengincar proyek Wisma Atlet di Palembang pada 21 April 2011. Wafid tertangkap tangan menerima cek tunai senilai Rp 3,2 miliar, ditambah uang tunai Rp 73,2 juta, US$ 128.148, Aus$ 13.070, serta Euro 1.955, sebagai uang balas jasa atas pemenangan tender pembangunan Wisma Atlet.
Karena operasi tangkap tangan KPK dilakukan di kantor Kemenpora, maka tudingan bahwa Menpora “mengetahui” praktik suap itu pun tak terelakkan. Namun, hingga kasus ini bergulir ke pengadilan, Menpora Andi Mallarangeng, bisa selamat dari kursi pesakitan. Ia hanya sempat dijadikan saksi.
Misalnya, saat Andi dihadirkan dalam sidang pengadilan pada Rabu (22/2/2012) ia mengaku tidak pernah meminta fee sebesar 8% kepada Mindo Rosalina Manulang, mantan anak buah Nazarudin, terkait proyek wisma atlet tersebut. Andi juga mengaku tidak mengenal Mindo Rosalina. Meski sebelumnya nama Andi dikaitkan dengan tuduhan kuasa hukum Rosalina, Achmad Rifai, yang menyebut ada seorang menteri meminta jatah uang kepada Rosa terkait dua proyek dengan nilai total Rp 180 miliar.
Tidak terjerat dalam kasus Wisma Atlet, namun Andi diduga tersangkut dalam kasus pengadaan
Sebelumnya Andi Mallarangeng telah ditetapkan sebagai tersangka kasus proyek Hambalang oleh KPK pada Kamis (6/12). Pagi ini, Andi pun langsung menghadap Presiden SBY di Istana Negara untuk mengajukan permohonan pengunduran dirinya.
Berbagai pihak pun kini mendesak agar mantan Menpora itu segera ditahan. Bukan itu saja, KPK juga didesak juga segera menetapkan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai tersangka kasus Wisma Atlet dan Hambalang, menyusul pengunduran diri Andi Mallarangeng.
Ketua Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid menuding KPK tebang pilih dalam penangkapan Luthfi. “Kami mengkritisi penangkapan ini sebagai sesuatu yang tebang pilih, para tokoh juga mendukung perjuangan kami atas penangkapan Luthfi oleh KPK yang masih diduga,” kata Hidayat.
Namun KPK memiliki alasan tersendiri. Juru Bicara KPK Johan Budi membantah telah tebang pilih. Menurutnya tidak ada alasan politis di balik penahanan Luthfi.
Keputusan untuk langsung menangkap dan menahan Luthfi itu, kata Johan, murni berdasarkan penilaian penyidik.
“Tidak ada hal khusus atau perlakuan khusus, tapi memang murni kewenangan penyidik dengan alasan subjektif dan objektif apakah seorang tersangka itu perlu ditahan atau tidak,” kata Johan. [misrohi/islampos]
Posting Komentar