ADA seorang teman mengatakan, Aceh
adalah ladang ilmu sosial. Konflik, Syariat Islam, Tsunami, perdamaian
dan kebangkitan pemerintahan adat, menjadi topik yang tidak
habis-habisnya untuk diteliti. Namun ternyata tidak hanya itu, Aceh juga
ladang ilmu Sejarah.
Meskipun sudah muncul ratusan
buku mengenai Aceh dalam sejarah, namun ketika dibaca ulang, ditulis
lagi, ditampah berspektif baru, data baru, logika baru, sejarah Aceh
semakin hidup dan menjadi sangat menarik. Bahkan ia menjadi sangat
relevan dengan kehidupan Aceh kontemporer. Nah, inilah yang dilakukan
oleh Prof. Dr. Amirul Hadi, MA. dalam buku terbarunya: Aceh; Sejarah,
Budaya dan Tradisi, terbitan Yayasan Obor Indonesia, Desember 2010.
Berbeda dengan banyak buku
sejarah Aceh yang merunut Aceh dari masa ke masa secara periodik, atau
mengambil satu tema penting saja dalam sejarah, dalam buku setebal
xviii+319 halaman ini, Prof. Amir memetakan sejarah Aceh dalam tema-tema
besar utama. Ia memilih beberapa isue kunci dalam sejarah Aceh yang
kemudian ketika dielaborasi mampu menunjukkan kondisi historis Aceh pada
masa tersebut.
Kondisi historis ini kemudian
dijelaskan dengan memasukkan perspektif logika sejarah sehingga pembaca
mendapatkannya sangat hidup dan logis. Pokok-pokok sejarah tersebut
ketika dihubungkan menjadi sebuah periodesasi sejarah Aceh yang terjadi
sejak 500 tahun yang lalu.
Saya membagi buku yang memiliki
sepuluh bab pokok ini ke dalam tiga periode sejarah Aceh; Aceh klasik,
perang Aceh, dan Aceh kontemporer. Dalam bagian pertama, Prof. Amir
menyuguhkan enam topik sejarah yang menurut saya adalah tonggak-tonggak
utama dalam memahami sejarah Aceh. Ia memulai dengan dampak pendudukan
Postugis di Malaka terhadap kebangkitan kerajaan Aceh Darussalam.
Berbeda dengan banyak daerah
lain di Nusantara yang justru hancur di tangan Portugis, atau setidaknya
tunduk di bawah pemerintahan Postugis, Aceh justru menjadikan kehadiran
Portugis sebagai momen untuk bangkit. Berbagai persaingan dengan bangsa
penjajah ini menjadikan Aceh lebih tegar dan kuat, menyiapkan diri
dalam berbagai bidang untuk menghadapi konfrontasi dengan penjajah.
Prof. Amir melihat kehadiran Portugis adalah stimulus penting untuk
bangkit dan bersatunya kerajaan-kerajaan kecil di Aceh dalam sebuah
kerajaan besar yaitu Aceh Darussalam.
Topik yang tidak kalah penting
dalam melihat Aceh klasik adalah sosok “Rumi Melayu” yang semi
misterius; Hamzah Fansuri. Dalam 23 halaman Prof. Amir menunjukkan
bagaimana dialektika pembicaraan sejarawan mengenai Hamzah Fansuri, dan
bagaimana Hamzah menempatkan diri dalam kerajaan Aceh Darussalam.
Masalah paling penting adalah, kapan Hamzah hidup? Pada masa iskandar
muda atau sebelumnya? apakah ia pernah menjadi “Syaikhul Islam” di
istana kerajaan Aceh?
Meskipun dalam konklusi akhir
bagian ini Prof. Amir tidak memberikan sesuatu yang baru dibandingkan
apa yang sudah ditulis beberapa sejarawan lain, namun dari dialektika
pembahasannya pembaca akan lebih paham mengenai Hamzah Fansuri. Ada
sejumlah kontroversi yang terjadi di kalangan ilmuan, dan Prof. Amir
menatanya dengan apik dengan logika sejarah hingga Hamzah benar-benar
menjadi makhluk historis.
Lalu dari mana kita mengetahui
berbagai peristiwa dalam sejarah kerajaan Aceh? Ini pernting agar
sejarah tidak sama dengan mitos dan tahayul. Untuk ini Prof. Amir
menunjukkan salah satu sumber penting sejarah Aceh yaitu Tajussalatin.
Meskipun Tajussalatin bukan sepenuhnya karya sejarah, namun ia telah
memberikan informasi kunci mengenai berbagai peristiwa historis yang
kemudian dapat dielaborasi dengan menggunakan karya-karya sejarah yang
lain.
Dalam Tajussalatin misalnya
dijelaskan mengenai perayaan hari besar Islam di kalangan istana Aceh,
bagaimana raja datang dan apa yang ia lakukan di Mesjid Raya
Baiturrahman. Dengan melakukan elaborasi yang lebih panjang, jelas kita
bisa masuk ke dalam kehidupan masa klasik Aceh tersebut.
Sebuah topik lain yang saya
yakin tidak akan habis-habisnya dibincangkan sepanjang masa adalah
masalah kontroversi pemerintahan perempuan di kerajaan Aceh Darussalam.
Hal ini terkait dengan hegemoni ulama Makkah yang saat itu menjadi
sentral fatwa perkara yang terjadi dalam masyarakat Islam di Nusantara.
Dengan mengizinkan kepemimpinan
perempuan pada abad XVII, sesungguhnya ulama Aceh telah membangun
tradisi fiqh politik sendiri. Namun demikian ulama pula yang menjadikan
kepemimpinan perempuan di Aceh jatuh. Prof. Amir menduga di sini ada
faktor “kewibawaan” ulama. Abdurrauf As-Singkili (Syiah Kuala) yang
mendukung perempuan menjadi sultan mampu mempertahankan pendapat itu
selama 49 tahun.
Namun setelah beliau wafat,
ulama-ulama lain tunduk pada mazhab Mekkah dan tidak mampu berkutik.
Akhirnya kepemimpinan perempuan dihentikan, dan diganti dengan sultan
laki-laki meskipun mereka memiliki track record yang buruk.
Bagian lain yang sangat menarik
dari buku ini adalah pembahasan mengenai Tradisi Intelektual di Aceh
tempoe doeloe. Hal ini terkait dengan posisi Aceh sebagai negara
kosmopolit yang menjadi center for islamic studies. Banyak sarjana luar
yang datang ke Aceh untuk membina karir di sana. Ini menyebabkan wacana
keilmuan sangat dinamis dan kaya. Apalagi pemerintah Aceh memberikan
dukungan yang kuat untuk kemajuan pengembangan keilmuan tersebut.
Sesuatu yang sangat berbeda dengan apa yang kita saksikan di Aceh saat
ini.
Bagaimana dengan aspek hukum
islam? Ini adalah pertanyaan yang penting. Di tengah klaim kebanyakan
masyarakat Aceh saat ini bahwa Islam pernah jaya dalam sejarah Aceh,
Prof. Amir -berdasarkan data-data sejarah- justru mengatakan bahwa hukum
yang dilaksanakan di Aceh pada abad XVII adalah komposite, dalam arti
terdiri dari berbagai elemen.
Oleh sebab itu hampir tidak bisa
dibedakan antara hukum yang ada dalam fiqih Islam dengan hukumm adat.
Namun jelas dari sisi kenegaraan secara resmi Aceh menggunakan hukum
Islam, namun raja sebagai law maker sering juga membuat hukum sendiri
yang dapat kita kategorikan sebagai hukum adat. Bahkan tidak jarang
hukum yang dibuat oleh raja sama sekali tidak ada dalam fiqh Islam.
Dalam dua bab selanjutnya Prof.
Amir membahas mengenai perang Aceh dengan Belanda dan kontroversi
mengenai peran penting Christiaan Snouck Hurgronje di Aceh. Perang
melawan Belanda dalam sejarah Aceh merupakan perang melawan kafir, dan
hal ini dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah.
Awalnya jihad ini dikomandoi
ulama dan pemerintah. Namun ketika kekuasaan kerajaan di Aceh melemah,
maka yang terjadi adalah perang rakyat dan munculnya raja-raja ke kecil
di berbagai wilayah. Perang rakyat ini membuat Belanda tidak pernah
benar-benar bisa berkuasa dengan aman di Aceh. Hurgronje adalah salah
seorang yang penting dalam masa perang rakyat ini.
Sebagai seorang antropolog yang
tahu banyak mengenai Islam, ia telah menjadi agen yang sangat cerdas
untuk membantu pemerintah Belanda memecah-belah pertahanan masyarakat
Aceh. Bahkan pembunuhan massal di Gayo Luwes yang dilakukan Van Dallen
tidak terlepas dari peran Hurgronje.
Bagaimana dengan Syariat Islam
dalam sejarah Aceh? Prof. Amir dengan tegas mengatakan Syarat Islam
memiliki akar sejarah yang kuat dalam sejarah Aceh. Namun, ia
mengingatkan bahwa Islam yang ada di Aceh masa lalu adalah perpaduan
antara dimensi keislaman, keacehan dan kesadaran kawasan. Dimensi
terakhir ini memungkin Aceh tumbuh sebagai sebuah inperium di kawasan
Melayu.
Namun kondisi ini berubah saat
terjadi perang Belanda hingga Aceh menjadi bagian dari Republik
Indonesia. Syariat Islam yang sejatinya memiliki dimensi lokal dan
global direduksi pada tatanan formalitas fiqh yang kaku sehingga jelas
tidak memberikan dampak bagi penyelesaian persoalan sosial di Aceh.
Apa yang menjadi tesis akhir
dari rangkaian tulisan Prof. Amir adalah, sejarah Aceh saat ini lebih
banyak berupa sebuah “ingatan sosial” dibandingkan dengan “kesadaran
sejarah”. Dengan kenyataan ini maka sejarah di Aceh berubah menjadi
sebuah romantisme dan menjadi ajang bernostalgia bagi mereka yang tidak
kreatif. Kondisi ini tentu saja menjadi presenden buruk dari sisi
pengembangan keilmuan dan pengambangan masyarakat di Aceh. Mereka akan
terbuai dengan mistifikasi masa lalu yang sama sekali tidak mendorong
untuk proses perkembangan peradaban Aceh masa depan.
Maka dalam konteks ini pula
Prof. Amir menekankan pentingnya “Kesadaran Sejarah” diletakkan di atas
“Ingatan Sosial” sebab hanya dengan begitu fakta sejarah mampu meberikan
kontribusi positif dalam kehidupan kita saat ini. Dalam kontkes ini
pula buku ini menjadi bacaan wajib bagi siapa saja yang ingin mengenal
Aceh dengan baik.[]
***
Oleh Sehat Ihsan Shadiqi,
Mahasiswa Doktor Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Harian-Aceh.com
Posting Komentar