Muslimah (illstr) |
Kisah ini dikirim oleh sahabat kami. Semoga bisa menjadi sebuah inspirasi untuk sahabat muslimah. Semoga kisah ini bisa menjadi inspirasi bagi Anda.
***
Orang bilang, selalu ada godaan besar saat kita berpegang teguh pada
sebuah keputusan. Bagaimana seseorang menanggapi godaan itu, apakah akan
tetap kuat pada pendirian atau goyah, tergantung masing-masing orang.
Saya pernah berada dalam situasi itu, mendapat materi melimpah, tetapi
harus melepas kewajiban saya sebagai seorang muslimah.
Saya adalah wanita sederhana, dibesarkan oleh keluarga yang memiliki
pikiran modern. Sejak kecil, saya dibebaskan untuk mengambil keputusan
apapun. Orang tua saya tidak pernah meminta saja harus masuk sekolah
mana, harus masuk jurusan apa, tidak seperti orang tua kebanyakan, yang
sering memaksa anak mereka melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
kata hati. Maka saya tumbuh menjadi gadis mandiri yang ambisius. Menurut
saya, ambisius itu bagus, karena tanpa sikap ambisius, seseorang hanya
akan jadi pemalas yang membebani orang lain.
Sikap itu membuat saya selalu mendapatkan nilai-nilai terbaik di
sekolah. Mendapat beasiswa menjadi hal biasa, karena tanpa mengajukan
beasiswa sekalipun, sekolah selalu mengajukan saya untuk menerima
beasiswa berprestasi. Tentu saja saya bersyukur, karena itu adalah bukti
bahwa saya tidak main-main dengan pendidikan, saya juga bisa
meringankan beban kedua orang tua. Bagi saya, pendidikan adalah jalan
terbaik untuk pegangan masa depan. Setidaknya, kelak saya akan menjadi
ibu, maka pengetahuan adalah salah satu pondasi kuat untuk mendidik
anak-anak, dengan agama sebagai pondasi agama tentunya.
Walaupun ambisius, saya tidak meninggalkan nilai-nilai agama yang sudah
diberikan kedua orang tua saya. Saya tidak pernah dipaksa memakai busana
muslimah atau jilbab. Kesadaran itu datang saat saya duduk di kelas 3
SMA. Ada keyakinan kuat untuk memperbaiki penampilan saya. Maka sejak
saat itu, saya selalu memakai jilbab. Sedikit demi sedikit belajar
memakai jilbab sesuai yang diperintahkan. Bukan hal yang mudah, saat itu
masih sedikit yang memakai jilbab. Kadang saya masih iri dengan
teman-teman saya yang bisa memakai pakaian dengan jenis yang beragam.
Beruntung, saya tetap bertahan dengan keputusan saya.
Tahun berlalu dan saya lulus dari sebuah perguruan tinggi sebagai
Sarjana Akuntansi di tahun 2003. Sama seperti lulusan pada umumnya, saya
mulai melempar surat lamaran kerja di berbagai perusahaan. Dengan nilai
yang memuaskan, bukan hal yang sulit untuk menerima panggilan kerja.
Hingga saya berhasil melewati empat tahapan tes di sebuah bank swasta
yang cukup terkenal. Saat memasuki tahap wawancara, pihak bank tersebut
menawarkan posisi dan jabatan yang jarang didapat oleh fresh graduate
seperti saya. Menurut mereka, saya punya kemampuan analisis yang baik,
sehingga sangat mungkin ditempatkan di posisi yang lebih tinggi
dibanding posisi yang saya lamar.
Saya bahagia, seperti mendapatkan berkah yang besar sekali. Tetapi
kebahagiaan saya hanya sesaat, karena pihak bank meminta saya untuk
mengikuti salah satu syarat yang ada, yaitu memakai seragam untuk
karyawati. Seragam tersebut memakai kemeja, blazer lengan panjang, dan
rok selutut. Rambut harus diperlihatkan dan digulung rapi. Dengan kata
lain, saya harus melepas jilbab dan pakaian muslimah yang melekat di
tubuh saya.
Menanggapi hal itu, saya mencoba melakukan tawaran untuk memakai seragam
rok panjang dan memakai jilbab yang rapi. Tetapi peraturan bank
tersebut tidak bisa dengan mudah diganti begitu saja. Sehingga mereka
kembali menawarkan gaji dan bonus yang sangat besar. Jujur, saya manusia
biasa, jumlah uang yang ditawarkan sangat banyak. Saya bisa
memberangkatkan orang tua ke Tanah Suci, itu adalah salah satu cita-cita
saya. Saya bisa mewujudkan cita-cita itu dalam waktu beberapa bulan
saja.
Hati saya seolah mengalami pertengkaran. Pihak bank bersedia menunggu
jawaban saya selama tiga hari. Selama tiga hari, saya curhat dengan
orang tua terlebih dahulu. Mereka menganggap saya sudah dewasa untuk
mengambil keputusan, sehingga semua diserahkan kembali pada saya. Batin
saya belum tenang, kesempatan tidak datang dua kali. Tetapi apakah saya
harus mengorbankan perintah Allah SWT demi semua materi itu? Setelah
melakukan Salat Istikhaarah, saya mantap untuk menolak tawaran itu. Saya
menolaknya dengan halus, pihak bank juga melepas saya dengan baik.
Tidak apa-apa, mengapa takut kekurangan materi, karena saya yakin, Allah
SWT lebih kaya dibandingkan tawaran yang diberikan. Mengenai impian
untuk kedua orang tua saya, naik haji, pasti ada jalan. Niat baik selalu
mendapat jalan yang baik, saya percaya akan hal itu.
Dua bulan setelah kejadian tersebut, saya diterima bekerja di sebuah
bank pemerintah. Memang, gajinya tidak sebesar tawaran yang lalu, tetapi
hati ini tenang karena saya diizinkan memakai seragam yang sesuai. Jika
percaya akan sebuah keyakinan, maka itulah yang terjadi. Pihak bank
menilai prestasi kerja saya sangat bagus. Bonus mengalir hampir setiap
bulan. Sedikit demi sedikit saya menabung, untuk masa depan saya dan
tabungan haji kedua orang tua.
Alhamdulillah, di tahun 2008, kedua orang tua saya berangkat ke Tanah
Suci. Saya tidak ikut, biarlah kedua orang tua saya berangkat terlebih
dahulu, saya yakin suatu saat kelak akan menyusul ke sana.
Sekarang, kehidupan saya lebih baik. Saya juga sudah menikah di tahun
2009. Bersama suami saya, kami sudah punya tabungan sendiri untuk pergi
ke Tanah Suci, semoga impian kami terkabul beberapa tahun lagi.
Itulah kisah saya yang sempat goncang saat melihat sejumlah materi yang
ditawarkan. Tetapi keyakinan saya memilih untuk tetap di jalan-Nya, dan
saya tidak menyesali keputusan tersebut, tidak sedikitpun.
Vemale.com - Oleh: Widya A. L.
Posting Komentar