Mari alihkan perhatian kita sejenak ke Ukraina. Sebuah negara yang baru merdeka dari Uni Sovyet pada 24 Agustus 1991.
Ukraina, secara geografis bisa
disebut berada di Eropa Tengah. Hingga pertengahan 2012 lalu masih
merupakan salah satu spot dunia yang memiliki kehidupan tenang dan
damai. Tapi awal 2014, hanya sekitar 18 bulan, tiba-tiba berubah menjadi
satu negara kacau di permukaan bumi.
Nyawa manusia bisa hilang dengan mudah oleh sesuatu yang tidak jelas alasannya.
Jika di musim panas 2012 Ukraina
menjadi negara yang banyak dikunjungi wisatawan, antara lain untuk
menyaksikan final kejuaraan sepakbola Piala Eropa, awal tahun ini,
Ukraina menjadi wilayah panas, paling berisiko untuk dikunjungi.
Bahkan orang Ukraina pun
berusaha kabur dari negeri mereka. Demikian berbahayanya kehidupan di
Ukraina sehingga liga sepakbolanya yang banyak melahirkan pemain-pemain
kelas dunia, tak bisa digelar. Ditunda entah sampai kapan.
Krisis Ukraina yang diawali oleh
perseteruan antara elit politik, berubah menjadi perebutan kekuasaan.
Presiden Viktor Yanukovych yang berkuasa sejak 2010 pada 22 Februari
2014 dilengserkan oleh parlemen.
Pemicunya berawal pada November
2013. Terjadi perdebatan sengit di kalangan politisi. Antara mereka yang
pro bergabung dengan Uni Eropa dan yang ingin berafiliasi dengan Rusia,
bekas pecahan Uni Soviet.
Mayoritas rakyat Ukraina memang
ingin bergabung dengan Uni Eropa. Tetapi sebagian kecil yang merasa
tidak nyaman. Mereka yang tidak merasa nyaman, sekalipun masuk kategori
minoritas, tetap kelompok itu tetap punya pengaruh. Di antaranya
Presiden Viktor Yanukovych. Sehingga kekuatan mayoritas tidak serta
mengalahkan minoritas.
Ketidaksetujuannya inilah yang
mendorong oposisi melancarkan demonstrasi dan penggembosan yang berujung
pada penggulingan Presiden Yanukovych oleh parlemen pada Sabtu 22
Februari 2014.
Presiden Vicktor Yanukovych yang
dikenal dekat dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, punya alasan untuk
membawa Ukraina bergabung dengan Rusia. Sebab Ukaina sesungguhnya
banyak bergantung pada bantuan Rusia.
Tapi sejarah juga menunjukkan
ketika Nazi berkuasa di Jerman, banyak warga Ukraina yang menjadi
kolaborator Nazi. Dan warga yang dimaksud pada umumnya beretnik Rusia.
Inilah yang tidak dikehendaki oleh mayoritas Ukraina - jika negara
tersebut bergabung dengan Rusia.
Sebetulnya masalah pengaruh
Nazi, bukan sebuah isu yang paling menentukan. Masalahnya tak akan
menjadi sesuatu yang penting kalau Presiden Viktor Yanukovych memerintah
Ukraina secara normatif.
Persoalannya berbelok. Isu
bergabung tidaknya dengan Uni Eropa menjadi isu hangat karena Yanukovych
terang-terangan menolak gagasan tersebut.
Imbas Terhadap Dunia
Cepat atau lambat, besar atau
kecil, imbasnya bakal dirasakan oleh dunia termasuk Indonesia sebagai
bagian dari komunitas dunia. Apalagi dalam beberapa hal, yang dihadapi
Ukraina mirip dengan situasi yang dihadapi Indonesia.
Seperti kerancuan dalam sistem
politik dan merajalelanya korupsi. UU yang ada tidak memungkinkan
seorang Presiden atau Perdana Menteri mampu memerintah secara kuat,
berwibawa sebagaimana seharusnya.
Hal ini terjadi antara lain,
karena masa transisi dari sistem otoriter ke demokrasi liberal belum
lagi selesai. Adaptasi pada sistem politik yang baru belum lancar,
korupsi sudah merajalela.
Korupsi di kalangan elit, antara
lain 'dipelopori' oleh para elit pemimpin. Seperti Presiden dan Perdana
Menteri. Periode sebelumnya Perdana Menteri Yulia Tymoshenko terlibat
skandal korupsi raksasa.
Pada 2011 wanita pertama Ukraina
yang menjadi Perdana Menteri itu dijatuhi hukuman penjara 7 tahun dan
diharuskan membayar ke negara uang sejumlah US$188 juta. Kini Presiden
(terguling) Viktor Yanukovych sedang dikejar-kejar sekalipun belum tahu
berapa besar dana negara yang dikorupsinya.
Kemerdekaan Ukraina di 1991,
hampir sama dengan karakter lahirnya reformasi di Indonesia. Dari sistem
totaliter komunis ala Uni Sovyet menjadi negara demokratis ala Barat.
Reformasi di Indonesia juga kurang lebih sama. Lahir dari rezim
totaliter militeristik menjadi negara paling demokratis di Asia
Tenggara.
Ternyata kemerdekaan, tidak
segera menjadikan bangsa Ukraina terbebas dari belenggu keterpurukan.
Reformasi di Indonesia juga justru ikut membawa Indonesia ke ruang
keterpurukan.
Krisis Ukraina, negara
berpenduduk 45 juta jiwa itu, bereskalasi dengan cepat. Tanpa didahului
semacam pra kondisi, krisis Ukraina, tiba-tiba sudah mengundang
keterlibatan Rusia dan Amerika Serikat.
Dampak dan efek domino
keterlibatan kedua negara ini patut diantisipasi. Sebab bukan mustahil
keadaan Ukraina bertambah runyam. Terbentuklah sebuah arena pertarungan
langsung antara kekuatan yang memiliki persenjataan pemusnah, Rusia dan
Amerika Serikat.
Mengapa demikian?
Dua negara ini dikenal pernah
bermusuhan selama hampir satu abad. Keduanya baru 'berdamai' setelah Uni
Sovyet pecah menjadi beberapa negara pada 1990. Dalam referensi umum,
Uni Sovyet digantikan Rusia.
Presiden Rusia saat ini,
Vladimir Putin, merupakan anggota KGB (dinas rahasia) di era Uni Sovyet.
KGB merupakan saingan utama agen intelejens Amerika Cerikat, CIA.
Persaingan antara agen CIA dengan agen Rusia, masih berlangsung.
Hingga sekarang label Vladimir
Putin sebagai penerus legacy KGB, masih terus melekat. Sebab Putin tidak
pernah membantah apalagi mengeleminirnya.
Sekalipun Rusia dan Amerika
Serikat sudah berdamai, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, perdamaian
mereka belum bisa disebut sebagai sesuatu yang permanen. (*ini)
Posting Komentar