Tahukah Anda: Sejarah G30S-PKI Yang Dijungkirbalikkan

Dulu, sejak tahun 1970-an hingga akhir tahun 2000, televisi kita secara serentak memutar film tentang G 30 S PKI setiap tanggal 30 Oktober malam. Film dengan durasi empat jam itu diputar dari mulai dari jam 8 hingga jam 10 malam. 
Ada juga yang memutar dari jam 9 hingga jam 11 malam, tergantung kebijaksanaan TVRI saat itu. Namun, setelah terjadi krisis moneter di tahun 1998, kebijakan untuk tidak memutar film itu mulai dikumandangkan dari berbagai pihak. Film itu dianggap tidak menceritakan fakta tentang G30S PKI dengan benar.
Film G 30 S PKI menceritakan kegiatan pemberontakan yang dilakukan PKI untuk merebut kekuasan RI. Kudeta yang mereka lancarkan menimbulkan banyak korban di tubuh TNI, yaitu para Jendral Besar seperti Ahmad Yani, D. I Panjaitan, P. Tendeandan yang lainnya. Total korbannya adalah tujuh orang, di mana lima di antaranya merupakan jendral besar. 
Dalam film itu diceritakan bahwa para korban mendapat siksaan fisik yang luar biasa, mulai dari dipotong alat kemaluannya, dicukil matanya ataupun mengalami penyiksaan lainnya. Namun, kenyataan fakta di ruang forensik ternyata berbeda.
Ketika sebuah peristiwa menjadi sejarah yang direpresentasikan ke dalam sebuah cerita atau film, cara pandang menjadi satu-satunya alat untuk menginterpretasikan kejadian tersebut sebagai fakta atau asumsi sebab peristiwa yang difilmkan pada dasarnya merupakan fakta yang diasumsikan kepada pendapat yang membuat film itu sendiri. Tidak ada yang dapat mengetahui siapa yang salah dan benar secara mutlak mengenai sebuah peristiwa yang telah dialihwahanakan ke dalam karya, terutama mengenai sejarah.
Arifin C. Noer dengan biaya pemerintah Orde Baru membuat film mengenai peristiwa Gerakan 30 September 1965. Film dengan judul Pengkhianatan G30S/PKI ini bercerita tentang peristiwa terbunuhnya enam jenderal Angkatan Darat dan keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam peristiwa tersebut.
Film yang di dalamnya terdapat berbagai sisipan yang berisi cuplikan dan kutipan dokumen resmi negara atas terjadinya peristiwa tersebut membuat penonton sulit membedakan antara fakta dan asumsi sehingga kejelasan peristiwa dalam film tersebut tidaklah mutlak dianggap sebagai fakta tanpa asumsi.
Dengan demikian, kita sebagai penonton tidak bisa menganggap bahwa film tersebut merupakan fakta atas sejarah yang ditampilkan secara objektif sebab di dalamnya terdapat peristiwa-peristiwa subjektif atau adegan yang visualisasinya bersifat bias yang nantinya akan memunculkan interpretasi tertentu antara satu sudut pandang dengan sudut pandang lainnya.
Film ini diawali dengan penampilan gambar-gambar replika yang terdapat di dinding monumen peringatan peristiwa G30S di Lubang Buaya. Dengan dukungan narasi serta dokumen yang divisualisasikan ke dalam film tersebut, penonton diajak untuk menjadi saksi atas sejarah peristiwa penting yang terjadi di Indonesia.
Trik pengambilan gambar serta efek musik dalam film tersebut juga turut mendukung penciptaan suasana mencekam sehingga penonton seolah-olah menyaksikan kejadian sebenarnya dan melupakan bahwa yang disaksikan hanyalah sebuah film. Hal-hal tersebutlah yang kemudian tanpa disadari mampu membentuk asumsi tertentu terhadap kejadian serta tokoh-tokoh yang terlibat di dalam peristiwa tersebut.
Cerita pencukilan mata dan pemotongan penis tidak terbukti benar. Karena beritanya sudah santer beredar di masyarakat, berita ini sampai ke ruang dokter yang melakukan otopsi. Atas perintah Soeharto kala itu, para dokter memeriksa jenazah dengan teliti. Dan terbukti bahwa tidak ditemukan kekerasan yang dituduhkan masyarakat selama ini.
Memang mereka semua tewas, namun kondisi tewasnya disebabkan oleh tusukan atau tembakan. Tidak ada kekejaman. Saat itu kondisi Indonesia sedang tidak stabil, sehingga para dokter tidak berani untuk mengeluarkan hasil visumnya. Mereka khawatir jika hasil visum yang dikeluarkan akan menyeret mereka kepenjara, dengan tuduhan membela PKI.
Serapat-rapatnya pemerintah menutupi, akhirnya kebenaran pun terungkap. Terjadi ketika pada tahun 1989, hasil visum itu dimuat dalam sebuah artikel berjudul 'How Did the Generals Is Die?' yang dibuat oleh Benedict Anderson di Jurnal Indonesia. Artikel tersebut memang sudah dimuat, tapi tidak ada seorang pun yang berani angkat bicara, karena takut oleh kekuasaan Soeharto kala itu. 
Barulah pada masa reformasi, sejumlah media cetak berani untuk mengungkapkannya. Para pekerja media berusaha mencari dokter ahli yang mengeluarkan visum tersebut dan mewawancarainya.
Beberapa dokter yang masih hidup memilih untuk bungkam. Namun, salah seorang dokter yang merasa tersiksa oleh fakta tersembunyi itu pun berbicara panjang lebar pada media. Ia menyatakan bahwa bukti berupa tujuh lembar fotokopi hasil visum yang beredar di masyarakat adalah benar dan sesuai aslinya.
Meskipun bukti telah ada, dan kebenaran telah terungkap, tetap saja tidak ada niatan baik pemerintah yang berusaha untuk meluruskan sejarah yang melenceng. Seolah semua sejarah tentang pemberontakan G 30 S PKI adalah benar hingga sekarang.
Selain fakta forensik kematian para jendral yang jauh dari bentuk penyiksaan, banyak juga fakta yang tersembunyi dan bengkok dari kenyataan yang sebenarnya. Seperti pembantaian yang dilakukan pemerintah kala itu, lebih kejam daripada pemberontakan PKI sendiri dan tersembunyi dari pengetahuan masyarakat. 
Banyaknya orang-orang yang tidak terbukti bersalah dijebloskan kepenjara dan menyandang status PKI, sehingga mereka sulit untuk hidup berbaur dengan masyarakat. Semua fakta itu hanya terendam dalam alur besar negara Indonesia.
Dalam sidang istimewa MPRS yang diselenggarakan pada tanggal 7 Maret 1967, jenderal Soeharto selaku Pangkopkamtib memberikan laporan tentang hubungan presiden Soekarno dengan peristiwa pemberontakan G30S. 
Walaupun pada saat itu Soeharto belum mempunyai kuasa penuh atas kebijakan pemerintah, namun ia memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan hal tersebut (Hananto, 2005 : 89). Oleh karena itu, peristiwa yang juga dikenal dengan Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) ini menjadi pemicu bergantinya rezim Soekarno ke Soeharto.
Film yang lahir tahun 1984 ini tentu saja memuat berbagai peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September malam hingga 1 Oktober di Jakarta, yakni terbunuhnya enam orang pejabat tinggi militer Indonesia dalam suatu usaha pemberontakan terhadap pemerintahan yang kelak lebih sering disebut kudeta oleh pihak PKI yang pada akhirnya dapat ditundukkan oleh Soeharto.
Jika dilihat dari penceritaannya, film ini tentu saja memberikan gambaran akan kebesaran jasa Soeharto dalam memperjuangkan Indonesia sehingga kemudian ia dianggap sebagai pejuang yang pantas menduduki kursi tertinggi dalam pemerintahan Indonesia. 
Namun, sampai hari ini, kejadian tersebut masih menjadi polemik bagi kalangan politisi dan peminat sejarah karena terdapat banyak kebiasan fakta yang muncul dalam film tersebut. Satu di antara tanda-tanda yang merujuk pada asumsi pembenaran Soeharto sebagai 'pahlawan' dalam peristiwa tersebut adalah peraturan yang ditetapkan oleh pemerintahannya untuk menayangkan film Pengkhianatan G30S/PKI setiap tahun pada 30 September malam pada seluruh stasiun televisi di Indonesia.
Dengan adanya peraturan tersebut, penulis berasumsi bahwa Soeharto mencoba memberikan asumsi tersendiri mengenai kepahlawanannya dalam memperjuangkan Indonesia sehingga dengan sendirinya, masyarakat sebagai penonton akan terdoktrin oleh pemikiran-pemikiran yang divisualisasikan dalam film tersebut untuk lebih memercayai Soeharto daripada keabsahan fakta sejarah itu sendiri.(ACW)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama

LANGUAGE