Banjir dan Bus Cina hamtam Jokowi


Banjir Jakarta membuat nama besar Gubernur Jokowi melorot. Lantas muncul skandal impor bus yang tak layak dari China. Kapan KPK turun tangan?
 

Banjir yang begitu lama melanda Jakarta betul-betul menelanjangi Gubernur Joko Widodo alias Jokowi. Ternyata bekas Walikota Solo ini tak ada apa-apanya. Semakin jelas bahwa kehebatan Jokowi hanya ada pada perangkat tim promosinya yang konon bermarkas di Jalan TB Simatupang Jakarta. 

Artinya,  Jokowi hanyalah produk rekayasa pencitraan dari sebuah tim promosi yang konon dibimbing Stanley Greenberg, warga Amerika keturunan Yahudi. Greenberg menjadi penasehat ahli tim promosi Jokowi berkat jasa James Riady, konglomerat pewaris Lippo Group itu.

Kalau semua ini benar maka fenomena Jokowi selama ini hampir mirip dengan kemunculan pertama kali Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di sekitar tahun 2004. Ketika itu SBY pun sukses sebagai calon Presiden berkat program pencitraan. Ternyata selama 2 priode kepemimpinan Presiden SBY banyak rakyat yang merasa kehidupan ini bertambah sulit. Artinya, rakyat tak bisa diberi makan dengan ‘’pencitraan’’.  

Kembali cerita James Riady, untuk sekadar mengingatkan, pengusaha ini jadi kaya-raya dari bumi Indonesia. Tapi seperti diketahui inilah pengusaha Indonesia yang dulu menyumbangkan dananya untuk kampanye memenangkan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton. Ketika itu dengan bangga Riady mengaku sebagai penyumbang dana kampanye Presiden Amerika Serikat itu. Sekarang James Riady merupakan ‘’cukong’’ utama di belakang Jokowi. Selain pendanaan,  Riady yang pemuka gereja itu juga aktif mengkampanyekan Jokowi di kalangan pengusaha keturunan.

Pendukung utama lainnya adalah Jenderal (Pur) Luhud Panjaitan, bekas Menteri Perindustrian yang sekarang menguasai ribuan hektar tambang batubara di Kalimantan. Luhud menghimpun sejumlah purnawirawan perwira tinggi menjadi semacam Tim Sukses Jokowi. Konon Luhud sejak lama merupakan teman bisnis Jokowi. 

Kembali cerita Greenberg yang pakar promosi itu. Dengan pengalamannya, Greenberg memoles citra Jokowi seolah-olah seorang pemimpin bijaksana, apa adanya, merakyat, dan sejumlah bla...bla...bla lainnya. Entah bagaimana caranya (ada yang bilang dengan sistem mengontrak halaman media tertentu) Greenberg dengan gampang memasukkan berita promosi dan pencitraan Jokowi dengan gencarnya di sejumlah media (terutama Kompas dan Detik.Com), termasuk televisi tertentu.

Padahal kenyataannya Jokowi hanya bekas pedagang mebel dari Solo. Pengetahuannya dangkal, informasinya terbatas. Jokowi betul-betul sempat membuat malu Greenberg, ketika berbicara dalam sebuah diskusi di Ditlantas Metro Jaya belum lama ini, dia katakan bahwa Presiden Mesir Mohammad Mursy dijatuhkan rakyatnya karena bersikap eksklusif. Padahal semua orang tahu kalau Mursy dikudeta kelompok militer Mesir.

Belum lama ini dia bilang Ciliwung sebagai sungai besar. Padahal sungai itu paling lebar 12 meter. Mungkin suatu waktu Gubernur Jakarta itu perlu dibawa melihat Sungai Mahakam atau Sungai Kapuas di Kalimantan, agar dia tahu yang namanya sungai besar itu seperti apa.

Maka ketika ternyata banjir kali ini (meski bukan yang terbesar) berlangsung begitu lama sehingga betul-betul memelaratkan rakyatnya, Jokowi yang bekas Walikota Solo itu seperti orang kebingungan. Ingat Solo yang berpenduduk 500.000 jiwa itu cuma sebuah kota yang sangat kecil dibanding Jakarta.

Di tengah banjir Jakarta, Jokowi pun terpaksa menghentikan aksi ‘’blusukan’’ yang selama ini menjadi alat kampanyenya yang ampuh. Mungkin ia khawatir kalau terus ‘’blusukan’’ akan menuai kecaman. Dia takut dituduh berdarmawisata di tengah rakyat yang kebanjiran sehingga ia mungkin ditimpuk telur busuk.   

Karena itu Wakil Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mahfudz Siddiq berpendapat banjir yang melanda Ibukota dalam 2 pekan terakhir bisa menjadi masalah bagi Jokowi. ‘’Saya khawatir banjir berkepanjangan ini memperkecil peluang Jokowi menjadi calon Presiden,’’ kata Mahfudz, anggota DPR itu, 4 Februari lalu.

Betapa tidak? Ketika banjir berhari-hari melanda Ibukota rakyat di berbagai pelosok jadi korban, orang pun teringat betapa ketika awal dipilih menjadi Gubernur lebih setahun lalu, Jokowi sesumbar mengatakan masalah banjir Jakarta bisa diatasi, yang penting action-nya.

Ketika itu semua orang yang menyaksikannya di layar televisi berdecak kagum melihat Jokowi masuk ke dalam gorong-gorong di Jalan Sudirman, Jakarta. Bagaikan seorang ahli, bekas pedagang mebel itu mengamati gorong-gorong Jalan Surdirman, seakan mau mengatakan kepada rakyat bahwa dia akan segera mengatasi masalah banjir dengan memperlancar aliran air di gorong-gorong itu. Tapi kenyataannya Jokowi tak berbuat apa-apa. Maka begitu hujan datang, banjir pun meluap dengan gorong-gorong dipenuhi sampah.

Kasus banjir Jakarta bisa dikatakan telah membuka mata warga yang sempat terpesona kepada Jokowi berkat gerakan pencitraan massif model Greenberg yang melibatkan banyak wartawan serta sejumlah penerbitan dan stasiun televisi.

Begitu naifkah bangsa ini sehingga mudah terkecoh dengan pencitraan dan opini sesat terhadap seorang figur? Mengapa bangsa Indonesia tak pernah mau belajar dari pengalaman pahit ditipu para penjahat bertopeng malaikat? Banyak tokoh yang semula disanjung dan diteladani kemudian terbukti tak lebih dari seorang ‘’badut’’. Ketika mereka kabur, tinggallah rakyat korbannya menangis menderita meratapi kerugiannya.

Begitu lugu rakyat kita hingga mudah percaya berita dan opini yang dibentuk media tentang karakter, integritas dan kredibiltas seorang tokoh? Tak adakah mekanisme check and recheck yang semestinya dilakukan sebelum memberi kepercayaan besar atas sebuah amanah yang sangat menentukan nasib dan masa depan rakyat?

Tidakkah pencitraan berlebihan semestinya membuat kita lebih berhati – hati menilai figur tertentu? Bagaimana mungkin kita percaya tak ada udang di balik batu dari sebuah realitas pencitraan banyak media terhadap seseorang tanpa terlebih dulu dianalisa apa sebenarnya tujuan pencitraan oleh media-media itu dan siapa sutradara di belakangnya? Begitu kasat mata rekayasa pencitraan yang dibangun secara sistematis, masif, terencana, dan pasti menghabiskan uang yang sangat besar, untuk pencitraan Joko Widodo alias Jokowi. 
 
TOKOH EVANGELIS AMERIKA

Pencitraan terhadap Jokowi dilakukan sebuah tim pencitraan yang lengkap, berpengalaman, terdiri dari berbagai kelompok yang bertugas dan bertanggungjawab untuk membentuk citra diri Jokowi sesuai keinginan rakyat atau target yang ditetapkan tim konsultan pencitraan.

Ratusan media nasional dan lokal, koran, majalah, TV, radio, media online dan sebagainya, dikontrak dan dibayar untuk setiap hari memuat berita positif tentang Jokowi. Pada media cetak yang dikontrak dan dibayar tersebut, disediakan halaman atau kolom khusus yang memuat berita positif tentang Jokowi.

Pada media online, ditargetkan pemuatan berita Jokowi sebanyak – banyaknya. Sebuah media online terkemuka, misalnya, memuat berita tentang Jokowi bisa sampai 50 kali atau 50 judul per hari. Begitu tingginya target frekuensi berita Jokowi, sampai–sampai semua aktivitas Jokowi diberitakan media itu.

Jokowi naik sepeda ke kantor, Jokowi lari maraton, Jokowi mudik ke Solo, Jokowi ke Pluit, Jokowi nonton film, Jokowi nonton wayang, Jokowi makan banyak sebelum nonton, Jokowi antar makanan ke Megawati, Jokowi bertemu Si Anu, Jokowi hebat, Jokowi luar biasa, Jokowi tertawa, Jokowi dikawal, Jokowi bersedih, Jokowi disambut warga, Jokowi bagi – bagi uang, Jokowi blusukan, Jokowi bermimpi, dan seterusnya.

Sejumlah pengamat dan akademisi kampus ‘’disewa’’ oleh sutradara pencitraan itu untuk memberikan pendapat, penilaian dan kesan baik tentang Jokowi. Menurut informasi banyak staf pengajar Fisip UI Depok yang ‘’dibayar’’ untuk mendukung pencitraan Jokowi. Mereka rutin memberikan pendapat atau komentar positif dan puji-pujian untuk Jokowi, tanpa kritik sama sekali.

Jaringan internasional juga digunakan untuk memberikan ‘legitimasi’ pencitraan positif Jokowi. Bayangkan, seorang gubernur di Indonesia yang belum membuktikan prestasi kerja apa-apa tapi sudah dipuja-puji melalui berita media luar negeri. Menurut kabar yang beredar, pemuatan berita Jokowi ini adalah hasil kerja pengusaha James Riady bersama temannya Stanley Greenberg  dan jaringannya.

Sejak menganut Kristen Evangelis (sebuah aliran Kristen yang berpengaruh di Amerika Serikat), kedekatan James Riady dengan tokoh Evangelis Amerika, Pat Robertson yang terkenal fanatik itu, sudah jadi pengetahuan umum. Hal itu mengakibatkan James Riady menjelma menjadi sosok yang selalu dicurigai para tokoh dan umat Islam Indonesia. Itu terutama mengingat Pat Robertson dikenal di Amerika Serikat sebagai tokoh fanatik dan sangat anti-Islam.

Tapi tampaknya masa kejayaan Jokowi segera berakhir. Gubernur Jakarta seumur jagung itu kini harus menghadapi isu yang ‘’gawat’’ dan ini bisa saja merontokkannya. Yaitu soal skandal impor bus dari China yang merupakan kebijakan Gubernur Jokowi.

Seperti diketahui dengan berbagai dalih Jokowi mengimpor langsung sejumlah bus dari China untuk menambah armada Transjakarta dan Bus Kota Terintegrasi Busway (BKTB). Mengapa tak menggunakan jasa importir dalam negeri? Alasan Jokowi waktu itu macam-macam, termasuk soal harga yang lebih murah.

Maka sekitar dua pekan lalu, mulai dioperasikan bus impor dari China itu, 15 bus untuk Transjakarta dan 10 bus BKTB. Tapi apa yang terjadi? Ternyata bus yang baru diimpor dari China itu sudah rusak-rusak dan berkarat. Setidaknya ditemukan 5 bus Transjakarta dan 8 bus BKTB yang sama sekali tak layak untuk dioperasikan.

Pengamat transportasi Darmaningtyas sangat menyayangkan Pemda Provinsi DKI Jakarta yang tak teliti dalam membeli sehingga bus-bus baru itu sudah dilaporkan rusak. ‘’Itu berarti perusahaan China itu menipu Pemprov DKI,’’ katanya.

Darmaningtyas tampaknya masih percaya pada Jokowi dan aparatnya, sehingga ia menyalahkan perusahaan importir dari China itu. Padahal sebenarnya betapa pun Gubernur Jokowi dan stafnya harus bertanggung jawab atas kasus ini. Soalnya, mengapa bus rusak dan ringsek seperti itu bisa diterima begitu saja oleh Pemda DKI?

Diduga keras ada ‘’permainan’’ dalam impor bus ini. Untuk itu diharapkan KPK segera turun tangan mengungkap mengapa kekonyolan ini bisa terjadi. Dan kasus bus ini harus dicatat pula sebagai ‘’prestasi’’ Jokowi sebagai Gubernur Jakarta. Sewaktu menjadi Walikota Solo, Jokowi menghadapi beberapa kasus, di antaranya ada yang sudah dilaporkan ke KPK.

Melihat kondisinya besar kemungkinan bus-bus ini merupakan stok lama. Kemudian bodi dan bagian-bagian bus yang kelihatan dipermak sedemikian rupa sehingga tampak baru kembali. Padahal komponen mesinnya tetap yang lama tak diganti sama sekali.

Darmaningtyas menyayangkan Pemerintah Provinsi DKI pimpinan Jokowi yang membeli bus dari perusahaan asal negeri Cina yang belum teruji. Ke depan, ia menyarankan Pemda Provinsi DKI membeli bus yang sudah terbukti dan memiliki Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) di Indonesia. 

"Hal itu perlu supaya yang melakukan pemeliharaan jangan kita (Pemprov DKI), tapi biar ATPM yang profesional,’’ lanjutnya. 

Seperti ditulis sejumlah media jelas kalau Pemda DKI tak teliti dalam menerima bus-bus yang dimasukkan ke Indonesia oleh importir China itu. Sejumlah foto yang dimuat media menggambarkan komponen bus Transjakarta dan BKTB yang rusak. Rangkaian foto-foto itu menunjukan ada lima Transjakarta articulated dan delapan BKTB yang sesungguhnya tak layak untuk diimpor.
 
Bus Transjakarta jenis articulated atau bus gandeng dengan nomor kendaraan B 7146 IX dan nomor seri bus AK5200, misalnya, terlihat bahwa kondisi beberapa komponen tampak tak lagi baru. Tabung oli power steering berkarat, turbo sensor berkarat, indikator air cleaner berada di batas kuning-merah (tak layak), pulley terbuka sehingga gemuk bocor, tabung knalpot karatan, water coolant bocor (bila mesin hidup), kompresor AC berjamur, kabel otomatis spion terpasang tak rapih, rangka kendaraan berkarat dan lain-lain. 

Sementara untuk BKTB, kondisinya serupa. BKTB bernomor kendaraan B 7241 IV, misalnya, instrumen dashboard-nya tak dibaut, kaca spion retak, tutup panel speedometer kendur, karet penutup persneling terlepas, wiring elektrikal menempel di manifold. Dari delapan unit BKTB yang ada, satu bus diketahui belum memiliki pelat nomor Polisi dan satu lagi memakai pelat kendaraan percobaan. Bagaimana ini bisa terjadi Pak Jokowi?

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama

LANGUAGE