Bendera parpol kontestan Pemilu (ilustrasi)
Setelah mengkaji saat ini secara obyektif, pelaksanaan dua Pemilu terakhir (2004 dan 2009), sejatinya Pemilu-pemilu itu patut divonis sebagai Pemilu yang tidak sah. Kecurangan-kecurangan saat ini tidak bisa lagi digugat (kedaluwarsa) karena undang-undang Pemilu telah membatasi gugatan hasil Pemilu. Bahkan undang-undang Pemilu yang telah menerapkan Parliament Treshold (PT) pun hakikatnya justru merupakan pengingkaran bahkan pengkhianatan prinsip demokrasi yang paling mendasar dari konsep demokrasi yang konon hendak ditegakkan itu. Inilah fakta paling ironis dari pelaksanaan Pemilu di Indonesia dan masih akan diterapkan pada Pemilu 2014 mendatang dengan ambang batas, PT ditingkatkan 3,5% (Pemilu 2009 : 2,5%).
Enam bulan menjelang pelaksanaan Pemilu 2014, rakyat Indonesia tidak menunjukkan antusias, atau malah sebaliknya tidak peduli hajat vital yang akan menentukan corak pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 2014-2019. Tampaknya masyarakat luas sampai pada tingkat kejenuhan yang sudah mengkristal dengan dunia politik di negeri ini. Gambaran ini tercermin sangat gamblang pada partisipasi yang sangat minim pada setiap pelaksanaan Pilkada di seluruh Indonesia. Tingkat partisipasi rakyat terhadap Pilkada saat ini rata-rata hanya mencapai 40%. Sejumlah kalangan memastikan hal ini disebabkan perilaku kalangan politisi yang justru terbongkar sebagai pelaku tindak korupsi besar-besaran dan terus-menerus terjadi. Moralitas kalangan politisi pun dianggap makin berpijak kepada gaya hidup hedonism, permissifnes, alias serba boleh. Etika, norma, moral, bahkan agama bagai tak pernah dijadikan pedoman hidup politisi yang semakin bertindak destruktif itu.
Dengan sorotan media massa atas perilaku kelam kalangan politik itu, dan setiap kali dijadikan tayangan televisi, rakyat pun makin apatis ikut berpartisipasi terhadap segala yang berbau politik. Dalam kasus Pilkada di hampir kabupaten dan kota, partisipasi yang rata-rata hanya 40% itu, dipastikan rakyat merasa lebih bermanfaat tetap bekerja daripada mendatangi tempat pemungutan suara Pilkada. Rakyat semua berkeyakinan, dengan Pilkada langsung ini ternyata siapapun yang terpilih tidak selalu linier dengan kepentingan dan hajat serta aspirasi (mereka) rakyatnya. Fenomena lemahnya partisipasi Pilkada ini membuktikan partai politik telah gagal meyakinkan rakyat luas kehadirannya akan mengartikulasikan semua aspirasi rakyat. Yang terjadi justru cap yang makin melekat bahwa politisi sangat identik dengan korupsi sebagai koruptor. Yang kini terbayang semakin nyata, Pemilu 2014 mendatang akan semakin menggelembungkan Golput yang pada Pemilu 2009 lalu tercatat sebanyak 67.165.656 orang dari jumlah pemilih yang terdaftar sebanyjak 171.265.441.
Heboh bertikai soal Daftar Pemilih Tetap (DPT), akhir Nopember 2013, antara KPU (Komisi Pemilihan Umum), kalangan Parpol, dan Mendagri, hakikatnya tak dilirik sedikitpun oleh kalangan rakyat. Mereka masa bodoh, dan tidak peduli. Pemilu-pemilu yang telah digelar sebelumnya semakin bisa menjelaskan secara tersirat bahkan tersurat secara jelas merupakan Pemilu yang sangat curang dan tidak ada manfaatnya dengan aspirasi rakyat Indonesia dalam mengemban amanat yangj paling baku yakni membawa kesejahteraan, kemakmuran, keadilan bagi rakyat Indonesia. Justru melalui pertarungan Pemilu itu para politisi, terbukti hanya mengangkangi harta negara untuk kesejahteraan pribadi politisi atau golongannya sendiri. Fakta seperti ini menguasai pola pikir rakyat terbesar. Ingin bukti cobalah berdialog dengan sopir taksi, buruh, dan rakyat jelata lainnya. Mereka mengidap pola pikir yang sama, mereka merasa ditipu habis-habisan oleh kaum politik. Mereka muak dengan kaum politisi. Mereka juga muak dengan semua prakarsa kaum politisi, termasuk Pemilu 2014.
Pemilu yang dianggap relatif bersih di era reformasi terjadi pada Pemilu 1999—walau tetap dianggap Pemilu terbersih pada 1955—sementara dua Pemilu terakhir (2004-2009) yang telah menaikan Susilo Bambang Yudhoyono diangap Pemilu paling curang dan amburadul pelaksanaannya. Pasca Pemilu 2009 berbuntut kisruh dan protes dari Parpol-Parpol yang secara telak telah “dikadali”.
Yusril Ihza Mahendra dari Partai Bulan Bintang (PBB) saat itu berkomentar Pemilu 2009 merupakan Pemilu terburuk dalam sejarah Republik Indonesia. Bahkan Yusril menuduh kecurangan yang dilakukan Partai Demokrat dalam Pemilu 2009 lebih buruk dari apa yang dilakukan oleh Golkar di masa pemerintahan Soeharto. Mula-mula tuduhan yang dilontarkan Yusril ini dinilai sebagai tokoh yang kecewa membabi-buta karena partainya kalah dalam Pemilu 2009 dan tidak lolos dalam Parliament Treshold. Tapi belakangan semua orang mulai mencium aroma kecurangan Partai Demokrat dalam spektrum yang lebih luas. Hal ini mengundang mantan Ketua Muhammadiyah, Syafii Ma’arif untuk menulis di harian Kompas, dan menyindir kecurangan Partai Demokrat itu. Kata Syafii, belakangan ini ada tiga peristiwa besar yang menjadi misteri, yang jika misteri itu dibongkar, niscaya akan menghentikan carut-marut di NKRI ini. Tiga masalah besar itu adalah : Satu, Misteri pembunuhan Nasruddin Zulkarnain yang telah memejarakan Ketua KPK Antasari Azhar, Dua, Kasus manipulasi Pemilu di KPU, khususnya soal skandal pengadaan IT –kemudian menyeret anggota KPU Andi Nurpati dalam gugatan hukum kasus Pemilu 2009—dan yang ketiga, kasus Bank Century yang merugikan Negara Rp 6 Trilyun lebih.
Tersirat pula banyak pihak mencurigai kemenangan Partai Demokrat, dan berhasil membawa Susilo Bambang Yudhoyono menduduki kursi presiden dua kali berturut-tuirut. Mengapa sejumlah pimpinan KPU belakangan dirangkul SBY masuk ke jajaran kabinet atau masuk ke jajaran teras Partai Demokrat, sepeprti Hamid Awaluddin, Andi Nurpati dan Anas Urbaningrum yang terakhir kemudian merebut pimpinan puncak Partai Demokrat, dan kini justru disingkirkan SBY.
Parliement Treshold dan Oligarki Partai
Kecurangan telak Pemilu 2009 dan 2014 yang direncanakan niscaya penerapan Parliament Treshold 2,5%. Adalah MS Kaban Ketua Umum PBB yang gencar mengkritik penerapan Parliament Treshold (PT) yang disebutnya menjadi cermin rakusnya partai-partai yang duduk di DPR dan menyusun undang-undang.
Ciri sebagai kekuatan oligarki politik dipaksakan tanpa malu akan fatson dasar berpolitik.PBB pada Pemilu 2009 partai yang semula nyaris masuk PT tiba-tiba diketok oleh KPU sebagai partai yang tak lolos PT, dengan perolehan suara, 1,8 %.Saat itu KPU juga mengumumkan jumlah suara sah Pemilu 2009 mencapai 104.099.789, suara yang tidak sah 17.486.752 suara yang jika dijumlahkan dengan suara yang tidak memilih (Golput) 49.677.075 suara, maka total suara Golput 67..165.656 suara. Artinya pemenang Pemilu 2009 sebenarnya adalah Golput karena jumlah DPT mencapai 171.265.442 suara. Sungguh ironis, menurut Kaban bahkan menjadi tragis tatkala pengamat Pemilu paling netral pun berkomentar bahwa Pemilu 2009 merupakan Pemilu paling bobrok dan curang, jauh lebih buruk dari Pemilu-Pemilu sebelumnya, bahkan Pemilu di era Orde Baru.
Dirinci oleh Kaban, kebobrokan Pemilu 2009 makin terang benderang setelah dua tahun usai Pemilu 2009 itu, yang kemudian terbongkar adanya dugaan anggota DPR (2009-2014) menempati kursinya di DPR dengan cara manipulasi pada saat penghitungan suara, termasuk adanya jual beli suara. Kursi-kursi “haram” DPR diyakini berjumlah sangat besar—mungkin lebih 50%-- apalagi kata Kaban jika diperhitungkan suara kursi Haram partai-partai besar seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP yang telah merampok kursi-kursi milik partai yang secara sah telah meraih kursi itu, namun terpaksa dianggap hangus karena tidak mencapai PT.
Kaban mengaku pernah mengungkapkan dalam diskusi di redaksi harian Kompas, karena dampak PT ini kini telah terjadi, kursi yang telah diraih oleh PDS, yang niscaya beragama Nasrani, kini yang duduk di DPR adalah anggota DPR yang Islam. Inilah fakta yang telah terjadi, suara pemilih dikhianati oleh penerapan PT. Perhitungan suara yang hangus milik sejumlah partai sungguih berlawanan dengan sistem demokrasi yang hendak dibangun. Menurut Kaban suara hangus partai-partai yang tak lolos PT sedikitnya 19.000.000 suara, khusus PBB saja seharusnya memiliki kursi di DPR sedikitnya 11 kursi, PBR 9 kursi, PDS,8 kursi, PKNU mungkin sekitar 4 kursi. Pada Pemilu 2014 PT telah ditetapkan sebesar 3,5%, menurut Kaban sudah bisa diprediksi kursi hangus niscaya akan mencapai suara di atas 30 juta suara yang diperoleh sejumlah partai yang kelak tak lolos PT. Pemaksaan PT ini ditegaskan Kaban telah mencederai demokrasi yang konon hendak dibangun di negeri ini.
Dipastikan Pemilu 2014 mendatang akan lebih amburadul dan kisruh dibandingkan Pemilu 2009 yang sudah terlaksana sebagai Pemilu terburuk di Republik ini. Padahal Pemilu 2014 akan menelan biaya Trilyunan rupiah, namun disayangkan tidak membawa amanat rakyat yang mendasar yakni membawa kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi rakyat Indonesia. Pemilu sudah terbukti sekadar alat legitimasi politisi untuk mengekploitasi harga bangsa dan Negara untuk pribadi dan golongannya sendiri. Sungguh memilukan nasib bangsa Indonesia.[]SIO
Posting Komentar